Menjadi Spesialis di Tengah Lesunya Ekonomi Global


Job fair. Curriculum Vitae. Lowongan Pekerjaan.


3 hal tadi jadi trending topic di lingkungan pertemanan saya, lingkungan mahasiswa tingkat akhir. 

“Jaman sekarang cari kerja susah.”
Kalimat itu entah sudah ratusan kali didengungkan oleh ratusan orang yang berbeda pula. Menjadi viral dan sakti. Sakti karena terlanjur jadi stigma yang kian dibenarkan oleh para job seeker.

Sedikit dialog yang menggelitik pikir saya dari beberapa orang teman:
A : “Fresh graduate kaya kita gini, gimana caranya dapet gaji banyak, ya?”
B : “Ah ga usah bingung, kalau mau dapet gaji gede, kerja di oil company aja, dijamin gajinya gede!”

Faktanya, beberapa bulan lalu, media-media di Indonesia santer memberitakan mengenai beberapa perusahaan multi nasional yang bergerak di bidang migas dan elektronik yang (isunya) melakukan Pemutusan Hubungan Kerja pada ribuan karyawannya. Ada yang mengatakan “bukan PHK”, tapi “hanya efisiensi perusahaan”, atau “upaya perusahaan dengan perampingan”. 

Yah, apa pun namanya, itu sudah cukup menjadi notice bagi kami semua calon job seeker untuk lebih aware dengan fenomena saat ini. Berita PHK, efisiensi, dan perampingan ini semakin heboh karena gelombang PHK akan segera menghantui sektor lain di Indonesia. Saya tidak ingin menakut-nakuti. Saya juga tidak mau berprasangka pada media yang mungkin hiperbola.

Oke, mungkin contoh di atas terlalu raksasa karena saya mengambil contoh korporasi.

Bagaimana dengan contoh kecil yang ini. 
Sekarang semua orang bisa menjadi penulis dan menerbitkan karyanya sendiri. Self publishing adalah solusinya. Apakah kemudian para author dan major publisher memprotes kehadiran para self publisher?
Sekarang semua orang bisa menjadi reporter, melakukan pemberitaan, kemudian menyebarluaskannya. Video recorder di smartphone dan YouTube adalah solusinya. Apakah kemudian para jurnalis dan reporter menjadi tidak terima dengan kehadiran smartphone dan Youtube?
Jawabannya, tentu saja tidak!

Apa pun profesi yang kita geluti, kemudian ditekuni dan dikembangkan skill nya sehingga menghasilkan dan mencukupi kebutuhan hidup, saya sebut sebagai spesialis. Spesialis adalah orang yang menggantungkan hidupnya pada strength yang dimilikinya. Mungkin spesialis ini merasa memiliki strength yang hebat, dan kemudian berhenti belajar, karena menganggap strength itu bisa menjadi modal utamanya seumur hidup. 
Tetapi, apa faktanya? Baik kasus besar yang terjadi di korporasi dan kasus kecil yang terjadi pada individu menunjukkan bahwa, karir seseorang bisa mati pelan-pelan.

Dengan fenomena yang seperti itu, saya masih heran, mengapa masih banyak orang yang berpikir, “yang penting kerja dapet gaji gede.” Bukannya berpikir, “kerja untuk bisa survive dan hasilnya bermanfaat buat orang banyak, nggak cuman bermanfaat buat diri sendiri.”
"Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja." --Buya Hamka

Jika hanya berpikir dapat gaji gede saja. Kemudian setelah itu di PHK? Mau menangis dan mengadu ke siapa? Usia sudah tidak memungkinkan untuk mendaftar kerja lagi dan mendapatkan hasil yang mapan, kemudian harus bagaimana? Melakukan demo sampai blokade jalan utama hingga harus diliput stasiun televisi seluruh Indonesia juga bukan jawabannya.

Jadi, apa yang harus kita lakukan?

Jangan salahkan lesunya ekonomi global. Jangan salahkan sumber daya alam yang makin lama makin habis. Jangan salahkan dunia industri yang lagi ga stabil belakangan ini. Jangan salahkan inflasi yang semakin tahun semakin mencekik leher. Jangan salahkan daya beli masyarakat yang turun. Jangan salahkan harga komoditas yang lemah. Jangan salahkan pemerintah karena regulasi dan kebijakan yang ga semuanya tepat sasaran. Jangan salahkan kedatangan era informasi dan teknologi. Jangan salahkan apa pun. Jangan salahkan siapa pun.

Sekarang, ayo mikir bareng! 

Jadi spesialis di tengah lesunya perekonomian saat ini bukanlah hal yang salah. Saya justru appreciate dengan orang-orang spesialis, karena kemampuan fokusnya yang sangat baik. Mungkin ada yang menganut “The 10.000 hours of rule” milik Malcolm Gladwell dalam bukunya “Outliers”. Kan buat jadi sukses harus fokus ke satu bidang, dan latihan selama 10.000 jam. Cakep, tuh. Atau ada yang bilang, kalo ga spesialis itu namanya ga konsisten! Ora popo

Namun di sisi lain, ga akan ada yang bisa memprediksi gimana dunia di masa depan. Saya ga menyarankan kita semua buat jadi cenayang dan ahli nujum supaya bisa ngeramal gimana kondisi masa depan. Prediksi itu butuh ilmu khusus dengan melihat history atau pergerakan trend. Dan ga semua orang bisa.
Then, how?

1. Cermati sejarah, lalu ikuti fenomena saat ini
Kodak adalah contoh nyata. Mereka adalah spesialis dengan hasil cetakan foto yang bagus. Padahal, masyarakat sekarang kan udah jarang banget cetak foto. Karena mereka ga melakukan strategi baru, Kodak kini hanya tinggal kenangan. 

Nokia juga sama, menjadi spesialis “Connecting People”. Kemampuan voice quality dan user friendly nya ga perlu diragukan lagi. Tapi, kita sendiri tahu faktanya. Orang-orang jaman sekarang udah ga terlalu sering menelepon. Yang ada, aplikasi messaging atau chatting justru laris manis. Ya udah, Nokia harus ikhlas mati perlahan. 

Apa iya, mesti nunggu bangkrut dulu, baru bisa jadi spesialis yang lain? Apa iya, mesti nunggu di-PHK dulu, baru mencari skill hidup yang baru?
Pelajari skill baru. Milikilah banyak minat.

Lah, emang gimana caranya numbuhin minat?

Banyak minat bisa muncul karena pembiasaan pola pikir “mengapa” dan “bagaimana”. Mengapa bisa begini? Bagaimana bisa begitu? Selalu tanyakan sama diri sendiri. Manfaatkan rasa keingintahuan yang tinggi buat hal-hal yang baik. Bukan untuk ngepoin hal-hal yang ga penting dan ga kasih impact apa pun sama hidup kita.
Kalau kalian kerja di sektor retail, amati bahwa jumlah orang yang datang ke store sekarang mengalami penurunan. 

Contoh, Alfamart sekarang membuka Alfamart Online. Matahari dengan MatahariMallDotCom.
Kalau kalian kerja di sektor perbankan, amati bahwa jumlah nasabah yang datang ke kantor cabang semakin sedikit. Untuk itulah mobile banking dan internet banking diciptakan.
Intinya, selalu observasi. Tumbuhkan banyak minat. Be open minded. Miliki keingintahuan yang tinggi. Kembangkan menjadi skill baru.

2. Keep persistence
Plan B dibutuhkan jika rencana A gagal. Orang butuh berbagai alternatif untuk mengatasi kegagalan. Saat kita udah punya berbagai minat sejak dini, otomatis kita punya berbagai pilihan yang dapat dipertimbangkan. Peluang semakin terbuka lebar. 

Kita tetap bisa gunakan berbagai minat, meskipun udah punya pekerjaan tetap. Misalkan, saya suka blogging, berjualan, membuat website, menulis, bermain musik, dan olahraga. Dan saya bekerja pada sebuah start up. Pengetahuan saya tentang dunia blog, membuat tulisan yang bagus, dapat saya gunakan untuk promosi bisnis yang dijalankan. Pun ilmu yang dimiliki mengenai musik yang baik dan olahraga yang sehat dapat digunakan untuk membuat content yang menarik di website start up. Seperti itulah cara kerja minat dan pilihan di kehidupan sesungguhnya.

Kalau udah punya banyak minat, terus jadi labil, gimana dong? 
Kuncinya ada pada kegigihan.
Ga usah ragu buat ambil risiko dan berkomitmen sama banyak minat. Inget, tetap disiplin sama apa yang udah diputuskan. Jangan mau sama hasilnya doang. Puncak karir bakal diraih sama manusia yang gigih, tahan banting, dan ga pernah ngeluh!

3. Bangun networking
Berkawan dengan banyak orang dari latar belakang yang berbeda. Bangun hubungan baik dengan mereka. Give and share. 

Banyak banget keuntungan kalau kita punya banyak networking. Anti-sosial? Ke laut aje, sono. Inget, anti-sosial beda lho sama introvert! Misalnya, saya minat sama musik tapi ga expert di bidang itu. Project yang saya tangani sekarang butuh man power di bidang musik. 

Tinggal calling aja temen yang jago musik, kelar deh semua urusan. Superman aja ga bisa ngelakuin semuanya sendiri. Masa kita mau maruk nglakuin apa-apa seorang diri? Maka dari itu, terciptalah kolaborasi. Indah kan kalau kita saling berbagi? Berbagi pengalaman, berbagi project, dan juga berbagi rejeki! 

Saya nulis ini bukan karena preferensi terhadap bidang atau sektor tertentu. Saya juga tidak mengajak para pembaca untuk serta merta hijrah menjadi orang-orang multitalenta, dan melarang untuk menjadi orang spesialis. Tidak.

Saya hanya ingin kita semua bisa membaca situasi yang terjadi dan mengambil keputusan yang tepat. Bisa memposisikan diri di tempat yang layak dan waktu yang tepat. Plus komitmen, disiplin, dan kegigihan. Demi karir dan kehidupan yang bermanfaat bagi banyak orang.
Selamat berjuang mengarungi samudera kehidupan!

(Artikel ini ditulis pada tahun 2016, dan saya pikir masih relate dengan isu saat ini)

Tidak ada komentar