Sebuah Perjalanan Menerima Diri Sendiri


source: Unsplash - Kristijan Arsov


"Opi kenapa lo? Gak masuk lagi?"

Sebuah notifikasi chat muncul di layar handphone: dari teman kantorku, Sarah.

Sambil bangun dari tidur, kubuka jendela dari kamar kos mungil yang sudah menjadi tempat tinggalku 2 tahun belakangan.

Sudah 10 hari aku tidak masuk kantor. Ambil cuti 5 hari, sisanya ijin work from home. Beruntung manager di kantor memperbolehkanku untuk remote working. Ini kulakukan demi memulihkan kesehatanku karena beberapa hari yang lalu sempat drop.

Berawal dari suatu malam yang mendadak pusing, nafas berdegup kencang, kepala kliyengan, dan badan gemetar, aku dibawa oleh teman kosku ke Unit Gawat Darurat di rumah sakit terdekat dari kos. Singkat cerita, kata dokter ini gejala asam lambung. Penyebabnya bisa jadi karena kecapekan, stres, pola makan tidak teratur, atau bisa jadi akibat kecemasan yang berlebihan.

Mendengar hal tersebut, aku semakin khawatir, "Apa lagi ini cemas berlebihan? Sepertinya aku tidak cemas," begitu pikirku dalam hati.

Dokter bilang, "Jangan terlalu capek atau overthinking. Kecemasan berlebihan bisa jadi tanda dari gangguan psikosomatik. Sebaiknya Mba Opi juga memperbanyak edukasi dan mendatangi psikolog atau psikiater."

Mendengar saran dokter, aku jadi teringat bahwa selama 6-7 bulan ini aku mengalami gangguan tidur. Baru bisa tidur di atas jam 3 dini hari dan harus berangkat ke kantor jam 9 pagi. Sering rasa malas datang menghantui. Untuk melakukan hal yang aku sukai pun, rasanya seperti demotivation. Aku juga sering menangis tanpa sebab. Bahkan aku pernah menangis tiba-tiba di kamar mandi kantor atau di kamar mandi mall, saat sedang jalan-jalan dengan teman-teman kantor.

source: Unsplash - Noah Buscher


Perilaku yang tidak biasa ini mulai membawaku untuk menggali lebih jauh lewat internet. Aku sering membaca artikel dari Satu Persen serta menonton channel Youtube mereka.

Ngomong-ngomong soal psikosomatik. Aku jadi penasaran sebenarnya gangguan psikosomatik itu apa, sih?

Ternyata gangguan psikosomatis adalah penyakit yang timbul akibat pikiran diri sendiri. Gangguan psikosomatis memang mempengaruhi fisik, namun ternyata penyebabnya adalah pikiran terutama rasa stres dan juga cemas.

Sampai pada akhirnya, aku membaca sebuah artikel yang membahas tentang gangguan depresi mayor.
Namun, daripada semakin khawatir dan jadi malah self proclaimed, aku memutuskan untuk melakukan konsultasi dengan psikolog.

source: Unsplash - Yuris Alhumaydy


Anyway, ini pertama kalinya aku datang ke psikolog. Apakah akan terasa awkward? Karena kita curhat dengan orang yang baru pertama kali bertemu. 

Sebelum sesi konsultasi dimulai, aku diminta untuk mengisi formulir yang kurang lebih sebagai berikut:

Apakah kamu sakit kepala?
Mengalami gangguan pencernaan?
Nafsu makan berkurang / bertambah?
Mengalami kenaikan berat badan / penurunan berat badan secara drastis?
Sering malas dalam melakukan sesuatu?
Kehilangan antusiasme terhadap hal yang disukai?
Sering menangis?
Merasa kesepian?
Mengalami gangguan tidur?
Susah fokus pada kegiatan atau pekerjaan?

Ada beberapa pertanyaan lagi yang aku lupa tepatnya seperti apa. Namun yang kuingat pertanyaan terakhir dari formulir adalah:
Apakah ada keinginan untuk mengakhiri hidup?

Kurang lebih ada 20 pertanyaan. 19 pertanyaan awal aku jawab dengan YA, dan pertanyaan terakhir aku jawab dengan TIDAK.

Ternyata datang ke psikolog tidak semengerikan yang kubayangkan. Mereka akan bertanya secara detail dan lebih jauh tentang diri, hubungan dengan keluarga, pasangan, rekan kerja, aktivitas sehari-hari, dan masih banyak lagi. Namun apabila ada hal yang dirasa tidak ingin dibagikan, psikolog akan mempersilakan untuk tidak perlu diceritakan.

Setelah analisis dari psikolog, beliau memberikan beberapa saran yang tepat untuk permasalahanku. Aku diminta untuk mencari stressor atau penyebab stres yang aku alami. Tentu saja ini bukan hal yang mudah, apalagi jika aku masih belom bisa memahami diriku sendiri. 


source: Unsplash - Giulia Bertelli


Mungkin kecemasan terjadi karena banyak hal mengganjal pikiran dan aku masih sulit untuk mengekspresikannya. Atau banyak beban yang terasa berat sehingga aku sendiri masih sulit untuk menerima diri. Selama ini aku bekerja terlalu keras untuk diri sendiri hingga lupa berterima kasih. Kadang jadi terlalu tegas hingga sulit memaafkan diri sendiri. Dari konsultasi bersama psikolog ini, aku banyak belajar tentang penerimaan diri, self care, dan self love. 

Beberapa solusi yang diberikan oleh psikolog untuk mengatasi rasa kecemasanku adalah:

1. Berlatih Mindful Eating Setiap Hari
Mindful eating adalah menikmati makanan dengan penuh penghayatan. Maksudnya bagaimana? Makan kok malah menghayati?

Maksudnya adalah kita fokus terhadap aktivitas makan saja. Di era yang serba cepat seperti saat ini, aktivitas makan kerap diselingi dengan aktivitas menonton series, atau makan sambil main handphone. Alhasil, kita kerap lupa menikmati proses makan yang sebenarnya sebagai wujud rasa syukur bisa makan secara teratur setiap hari.


source: Anthony Tran


Psikologku mengajari bagaimana caranya melakukan mindful eating. Anggaplah saja aku sedang makan soto sapi. Perhatikan saat soto sapi tersebut disajikan. Hirup aroma semerbak dari kuah dengan bumbu rempah dan juga kaldu sapi yang begitu menggoda. Belum lagi dengan taburan bawang goreng yang renyah dan menggugah selera. Tentu akan lebih segar rasanya jika diberi sedikit perasan jeruk nipis dan juga sambal untuk memperkaya cita rasa. Aduk racikan sambal, perasan jeruk nipis, dengan soto menjadi satu. Cermati bahwa endapan bumbu sotonya sudah bercampur menjadi satu dan siap untuk dinikmati.

Saat soto sapi masuk ke dalam mulut, rasakan hangatnya kuah bening dengan berbagai macam tekstur yang menempel di lidah: ada nasi pulen, sayur tauge, daging sapi berbentuk dadu, bihun yang empuk, dan masih banyak lagi komponen yang menciptakan rasa lezat di lidah. 
Kunyah dan lumat makanan secara perlahan-lahan. Secara berulang. Makan dengan pelan-pelan dengan penuh penghayatan ternyata juga baik untuk lambung dan menghindarkan dari naiknya asam lambung berlebihan. 

Makan dengan mindful eating ternyata juga membantu kita untuk fokus menghabiskan waktu dengan aktivitas makan. Ternyata makan juga salah satu bentuk me time, lho. Perhatian penuh kita terhadap semua detail pada makanan akan menjadikan kita lebih bersyukur, lebih puas, dan ternyata menjadi lebih kenyang (karena kita mengunyah secara pelan-pelan sampai makanan lumat).

2. Mencoba Expressive Writing
Agar kecemasan bisa berkurang dan beban pikiran tidak menumpuk. Psikologku memberi saran agar aku mencoba metode expressive writing. Secara sederhana, expressive writing ini sama seperti jika kita menulis diary atau bahasa kerennya saat ini adalah journaling. Namun, expressive writing ini harus dilakukan secara konsisten di jam yang sama setiap harinya. Metodenya boleh ditulis tangan, atau boleh juga diketik. Disesuaikan saja dengan karakter dan kepribadian diri masing-masing. Bagi sebagian orang, menulis di atas kertas justru bisa menuangkan emosi karena menulis dengan tekanan (akibatnya kertas bisa timbul). Sebagian lain justru lebih nyaman jika mengetik menggunakan keyboard, apalagi mendengar suara tuts keyboard yang terkesan 'berisik' namun di situlah serunya.


source: dokumentasi pribadi @sofynito


Apa saja yang dapat ditulis dalam metode expressive writing?
Kita dapat menuliskan hal-hal yang dialami sehari-hari. Entah itu hari yang baik, atau hari yang menyebalkan. Jangan ragu untuk menuangkan segala emosi dan keluh kesah di situ. Dalam Jurnal Inggris Advances in Psychiatric Treatment, menulis memiliki dampak positif untuk menyembuhkan stres atau rasa tertekan.


source: dokumentasi pribadi @sofynito


Setelah mencoba selama beberapa bulan, baik itu mindful eating atau expressive writing, aku merasa jauh lebih baik. Aku mulai bisa menerima diri sendiri dan memaafkan segala kesalahan atau pun penyesalan yang datang. Meskipun saat menjalani proses recovery ini, banyak tangis dan juga rasa sakit yang aku alami. Namun aku percaya bahwa niat baik untuk bisa 'sembuh' dan rasa semangat saat menjalani healing bisa jadi energi positif yang mengurangi rasa cemas yang berlebihan ini. 

Jadi, saat kamu merasa kesepian, sedih, perlu menangis, atau butuh tempat untuk bersandar, jangan pernah ragu untuk mengandalkan dirimu sendiri. Bahwa semua hal yang terjadi, adalah sebuah kepingan agar perjalanan kita terasa lengkap. Selalu percaya bahwa menerima diri dan mencintai diri sendiri, adalah hal berharga yang aku harap semua orang mampu merayakannya. Terus gaungkan kalimat ini dalam hati: I am loved. 



Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi dan diikutsertakan dalam lomba blog dari Satu Persen Official #SatuPersenBlogCompetition


Sumber:

Pengalaman pribadi 
Foto journal pribadi

Tidak ada komentar