Kenapa Banyak Orang Sering Terlambat?
Fun facts (agak) penting: terima kasih buat Hayley Williams dkk yang udah nyiptain "For a Pessimist, I'm Pretty Optimistic". Karena dengerin itu, tulisan ini bisa lahir.
Orang yang optimis
adalah orang yang suka ngaret. Mayoritas warga Indonesia adalah orang yang suka
ngaret. Maka kesimpulannya, mayoritas warga Indonesia adalah orang-orang yang
optimis.
Sebuah premis yang menggelitik namun sarkastik.
Artikel ini diawali dari sebuah ungkapan,
Most late people
have been late all their life, and they are late for every type of activity —
good or bad. (by Diana De Lonzor, management consultant)
Udah jelas kan, orang yang sering datang terlambat, biasanya selalu terlambat di setiap aktivitas atau acara yang didatanginya.
Sebenernya, penyebab dari telat ini apa aja, sih? Begadang?
Kesiangan? Macet? Atau malah karena udah jadi budaya? Yaa.. beberapa alasan
tadi mungkin bisa jadi salah satu penyebabnya. Tapi kalau telatnya tiap hari?
Ternyata pertanyaan gue ini terjawab setelah baca artikel
ini. Kata
beberapa penganut teori, orang yang sering telat, memiliki masalah di dalam
lobus otaknya. Haduh serem juga, ya.
Sekarang, coba lihat di sekeliling kita.
Misal, ada
undangan buat meeting jam 3 sore di
ruang A.
Yang dateng jam 3 kurang, pasti bisa dihitung dengan jari.
Yang dateng
jam 3, yaa.. lumayan lah udah segelintir orang.
Setengah jam kemudian, bisa
nambah beberapa.
Dan akhirnya, rapat baru dimulai jam 4.
Molor sejam ye.
Tapi, di sekeliling kita, batas waktu satu jam itu rasanya masih wajar.
‘Keren’
bener dah, 60 menit itu ditolerir loh! Bayangin deh, lamanya satu jam itu bisa
dipake Lilyana-Tantowi buat memenangkan pertandingan bulutangkis sebanyak 2
kali!
Waktu sejam itu sebenernya bisa buat ngerjain hal lain yang produktif.
Bukan nungguin meeting mulai, karena
orang-orang lain datengnya telat.
Kalo udah kayak gitu, siapa yang rugi? Yang nungguin,
karena kehilangan waktu sejam. Dan yang telat, karena ketinggalan materi meeting nya plus bikin orang lain ngebuang waktu berharganya mereka. Ruginya
dobel-dobel.
Gue penasaran sama fenomena tarik ulur karet waktu ini, dan
melakukan riset kecil-kecilan dengan tanya ke orang-orang yang biasanya telat.
Dan gue mendapatkan jawaban yang unik, dan cukup mengerutkan dahi:
“Tadi ngurusin sesuatu dulu yang lebih urgent.”
“Ban motor gue bocor.”
“Yah telat 10 menit doang, kok. Lagian masih banyak yang
lebih telat daripada gue.”
“Sebenernya gue suka nelat gini karena sakit ati. Dulu, gue
selalu dateng on time, tapi ga pernah
dihargai. Akhirnya yaudah, gue ngikut nelat aja.”
“Gue ga telat kok. Lo nya aja yang ga ngerti. Kalo ada announcement buat meeting jam 3, itu artinya jam 3 berangkat. Baru mulai jam 4. Kayak
baru idup disini aje, lo”
Yang terakhir agak dalam ya hahaha. Gue cuman nanya, eh malah
dikatain.
Coba sekarang introspeksi, lo termasuk tipe yang mana?
Menurut artikel yang gue baca, ada 2 tipe dari lateness:
1. Not okay lateness
Keterlambatan yang membawa dampak negatif bagi orang lain.
Contohnya seperti kejadian meeting jam
3 tadi.
2. Okay lateness
Keterlambatan yang tidak membawa dampak negatif bagi orang
lain.
Nah, jenis yang kedua ini yang bahaya! Orang-orang dengan
keterlambatan kronis kayak gini punya pola pikir bahwa ‘terlambat itu gapapa.
terlambat itu tidak salah.’
Ini yang dimaksud sama beberapa penganut teori
tadi, bahwa ada yang salah dalam lobus otaknya.
Si okay lateness ini, ternyata punya sisi positif dari
kelakuan telatnya tadi. Biasanya orang-orang ini punya sifat optimis. Mereka
jadi bener-bener narsis. Menganggap bahwa, “semua pekerjaan bisa gue selesaikan
semua kok dalam waktu yang singkat”.
Atau mereka mikir, “gue adalah seorang
multitasker yang hebat”. Simpelnya, mereka bukan tipe orang yang hopeless, mereka tipe orang yang hopeful. Wew, ga nyangka ya. Terlihat mindblowing, bahkan ga realistis, tapi
itulah faktanya.
Tapi, daripada optimis ini disalahgunakan buat mentolerir
sebuah keterlambatan. Kan lebih baik optimisnya dilakukan untuk menjadi pribadi
yang lebih produktif dan kreatif. Karena buat bahas masalah waktu ini, ga bakal
ada habisnya. Inget kan, kalo “Waktu adalah relativitas”?
Tulisan ini bakal ditutup dengan salah satu quotes favorit
gue, “Chronological time doesn’t matter. What matters is how you use your
time.”
Source:
Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat disini, dan dipublikasikan ulang di blog pribadi penulis dengan sedikit perubahan.
Tidak ada komentar