Setelah lulus SMP, gue mulai kenal dan punya banyak temen
laki-laki (sekolah gue mayoritas 90% laki-laki). Gue beruntung bisa mengenal
lawan jenis secara lebih dekat dan banyak belajar dari mereka. Semakin gagal, semakin
banyak gue belajar.
Btw, gagalnya jangan diartikan sama seringnya jadian. "Gagal dalam berteman" artinya ada salah satu pihak yang suka dan pengen statusnya lebih dari temen, karena gak bisa dipaksakan akhirnya jadi menjauhkan silaturahim. Ya lo ngerti sendiri lah gimana awkwardnya temen yang jadi demen. Semakin gue sering menjadi heartbreaker, semakin banyak juga tulisan yang gue buat hahaha (but honestly, this is pretty damn true).
Btw, gagalnya jangan diartikan sama seringnya jadian. "Gagal dalam berteman" artinya ada salah satu pihak yang suka dan pengen statusnya lebih dari temen, karena gak bisa dipaksakan akhirnya jadi menjauhkan silaturahim. Ya lo ngerti sendiri lah gimana awkwardnya temen yang jadi demen. Semakin gue sering menjadi heartbreaker, semakin banyak juga tulisan yang gue buat hahaha (but honestly, this is pretty damn true).
Jangan turunkan standar lo dalam memilih pasangan hidup
hanya karena berusaha mempertahankan hubungan yang salah. ‘Ga pengen bikin
orang sakit hati’ adalah alasan yang basi buat bertahan. Gue disini belajar
bahwa, when you love someone, it means, you give them privilege to hurt you.
Ya, pria atau wanita yang selama ini lo cintai, memiliki kesempatan lebih untuk
dapat menyakiti hati lo. Ambil konsekuensinya.
Misalnya, gue punya prinsip, laki-laki yang dicintai harus
memiliki sifat pekerja keras dan gigih. Berusaha memperjuangkan apa yang dia
percayai. Dan juga tidak mudah goyah (oleh wanita lain juga, sih. Bercanda sih,
tapi serius). I mean, pendiriannya teguh. Ini dipegang terus ketika gue
memiliki teman dekat laki-laki dan sepertinya hubungannya akan lebih dari
sekedar berteman. Gue tidak akan menurunkan standar ini, karena gue tahu, ini
prinsip. Nyaman dan suka saja ternyata tidak cukup. Ada hal lain yang jauh
lebih krusial dari sekedar “kamu kece, kita sepertinya cocok, dan yuk jalani
aja”
Memilih pasangan itu sama kayak lo berkomitmen mau kerja di
perusahaan apa. Kalo ternyata lo punya visi yang tidak sama dengan perusahaan
itu, lo akan bekerja dengan setengah hati. Mungkin beberapa waktu bisa
bertahan, dengan mempertimbangkan hal-hal tertentu (gue ambil contoh masalah
gaji), tapi lo tetep ngejalaninnya ga dengan bahagia. Karena apa? Lo punya
purpose yang berbeda. Tujuan lo sama tujuan perusahaan yang mempekerjakan lo ga
sama. Dan seperti yang kita takutkan, ujungnya lo akan resign. Siapa yang mau
hubungan seumur hidup akan berakhir dengan perceraian? No one.
Beberapa
artikel yang gue baca menyatakan bahwa, pasangan yang bahagia dan langgeng
biasanya memiliki mimpi yang selaras dan juga pola pikir yang sebelas-dua
belas.
Gue pernah mencoba bertanya kepada seorang pria yang
berhasil membuat gue luluh lantak. Sifatnya telah merobohkan gue. Dih, lebay
amet ye berasa hati Hello Kitty (padahal tampak luar A7X tetap di hati). Gue
bilang gini nih ke doi, “Halo, saya punya mimpi besar, bagaimana menurutmu?”
Percayalah, orang yang bener-bener mencintai lo ga akan pernah meruntuhkan
mimpi besar lo. Hanya supaya sekedar “kita harus terus sama-sama”. Even, you
wanna study abroad, or you take a risk and it will change your life. Dia pasti
akan terus dukung lo. Bahkan membantu mencapai mimpi lo, sembari menyelaraskan
dengan mimpinya.
Pasangan yang baik itu yang berjalan beriringan. Bukan yang
menjadikan dirinya otak dan memberi lo ekor supaya terus menerus mengikuti
keputusannya.
Gimana kalau ternyata pasangan itu sudah lo dapatkan?
Pertahankan.
Gimana kalau belum menemukan? Terus cari dan jangan turunkan
prinsip kalo ga pengen dapet cinta yang kerdil.
Banyak orang menjadi irasional ketika sudah memiliki apa
yang dia mau.
Membuat orang yang kita sukai atau sayangi untuk mencintai
kita. Apakah itu sebuah hal yang mudah? Menurut gue, sangat sulit.
Tetapi, banyak orang yang menjadi irasional ketika sudah
mendapatkan apa yang dia mau.
Memberikan banyak syarat, mempersulit diri sendiri, menjadi
mudah marah dengan orang yang disukainya.
Menyederhanakan cinta bukan berarti kelak kehilangan makna.
Menjadi mudah untuk dicintai bukan berarti menjadi remeh
atau gampangan.
Anehnya, walau lo punya prinsip dalam memilih pasangan
hidup, tetapi setelah lo ‘got this feeling’, cinta yang lo rasakan justru
sederhana.
Simpelnya, gue percaya, cinta yang baik itu mendewasakan.
Jakarta, April 2016
Tidak ada komentar