How I've Failed at Writing. (And Why I Keep Going)

Judul yang sama, diambil dari artikel yang saya baca sore itu. 

Saya stress saat menulis. Lebih tepatnya, saya stress saat menulis skripsi.

Banyak orang yang berkomentar, “Kan lo udah biasa nulis, masa nulis skripsi aja ga bisa?”. Saya cuma bisa tersenyum, “You don’t even know me, guys.”

Buat orang yang suka ‘ngarang’ dan membuat tulisan fiksi, ketika tiba masanya menulis sesuatu yang ilmiah atau non fiksi, pasti ada perbedaan yang sangat kentara. Imajinasi dan opini pribadi juga saya masukkan ke dalam karya ilmiah. Sebenarnya ini boleh, namun porsinya tidak boleh terlalu banyak.

Parahnya, dari semester 6 hingga saat ini saya berada di ujung semester 8, skripsi saya belum selesai juga. Di semester 6, saya sudah menargetkan akan wisuda April 2016, (sampai sudah bikin timeline). Tapi saya belum bisa. Pikir saya, yaudah ga apa-apa, masih ada periode wisuda Agustus. Dan ternyata? Saya gagal kejar target. (Sebenarnya pola pikir saya salah; target itu bukan untuk dikejar, tapi untuk dilampaui)

Saya sempet ngedown karena saya belum bisa wisuda Agustus. Aneh bin kocaknya, teman-teman satu jurusan banyak yang melihat saya melakukan selebrasi usai sidang skripsi. Dan bukan hanya satu atau dua orang aja yang lihat saya pakai baju putih-hitam, pakai crown, bawa bunga dan hadiah, pakai selempang Sarjana Ekonomi, dan bawa-bawa balon di lapangan basket. (Rasanya ini perlu saya masukkan dalam list 'salah satu misteri dalam hidup ini').

Bukan apa-apa, saya ga baper liat temen saya udah sidang dan pake toga duluan. *Saya sedih aja ternyata janji foto studio pake toga bareng hanya jadi wacana*. Saya juga bukan orang yang punya prinsip ‘kesuksesan itu ditentukan dari seberapa cepat kamu wisuda. JADI LO MESTI LULUS CEPET’. 
Tapi, dengan saya tidak bisa wisuda Agustus, otomatis saya harus wisuda Oktober 2016. Saya tidak bisa lulus terlalu lama, karena ga lucu kalo anak Bidikmisi lulusnya lama, dan karena ribet juga ngurus perpanjangannya. 

Yang bikin saya sedih berkepanjangan adalah, mimpi saya selama 2 tahun terakhir buat bisa ke Ubud Writers & Readers Festival di Bali pupus sudah. Tahun 2015 saya gagal. Dan kenapa saya harus gagal lagi di tahun ini hanya karena skripsi saya yang tertunda? Fyi, UWRF 2016 akan dilaksanakan di Oktober saat saya nantinya wisuda.

Saya sempat merutuki diri sendiri, ‘Bloody hell damn it, gue bego dan gue gagal’. Beberapa minggu kemaren saya menjadi orang yang lebih banyak diam. Diam karena lebih banyak berpikir. Tidur pagi hampir tiap hari. Masih ribet ngurusin sana sini. Dan hampir tiap malam minum kopi item supaya mata tetep bisa melek ngerjain deadline dan skripsi. Akhirnya badan saya drop, saya kena gejala tipes. Ya sudah, makin pasrah lah saya.

Kenapa ini bisa terjadi? Mulai dari diri sendiri yang diharuskan untuk menyelamatkan kondisi usaha saya yang sedang dalam masalah, deadline menulis, hingga faktor di luar kendali saya, seperti dosen pembimbing yang diopname sehingga mengharuskan saya menunda bimbingan lumayan lama (padahal bimbingan dijatah satu minggu hanya satu kali).

Saya sempet flashback dengan membuka banyak resume yang ditulis, tentang teori-teori yang akan digali. Ternyata tulisan saya sudah banyak sekali. Saat membuka buku catatan bimbingan, terhitung saya sudah ganti kerangka pemikiran sebanyak 6x, ganti topik penelitian 4x, dan total bab yang sudah diselesaikan ada 7 bab. Kalau di total 2+6+4+7=19x belum berhasil, saya mungkin sudah dapat Rp 1.900.000 dari kegagalan yang saya peroleh.

Ya, saya terbiasa menghargai kegagalan yang saya terima dan dimasukkan dalam tabungan kegagalan. Semakin banyak nominal kegagalan yang diperoleh, artinya semakin banyak pula pengalaman yang saya dapatkan. Juga semakin dekat saya kepada keberhasilan.

Sebelum dosen saya sakit, saya pernah bertanya; “Pak, kenapa topik saya tidak disetujui lagi? Dan saya sudah berulang kali ganti kerangka. Kenapa teman-teman saya bisa langsung acc topik, sedangkan saya tidak?”. Jawaban beliau sederhana, “Saya tahu kamu bisa lebih dari itu. You can do more.” Plas! Kalimat tersebut menampar saya.

Setelah sejauh ini berproses, saya menyadari bahwa niat saya salah. Saya hanya ingin menghasilkan skripsi yang sudah banyak orang lain tulis. Saya hanya ingin lulus cepat. Dapat gelar. Dan bisa cepet ngelamar kerja. Dan segala hal serba cepat lainnya.

Saya selalu ingin semuanya berakhir sesuai dengan yang telah ditargetkan. Saya hanya mengejar gelar semata tanpa memberikan manfaat terhadap apa yang saya kerjakan (skripsi) saat ini. Saya hanya memberikan manfaat pada diri sendiri, tanpa melakukan sumbangsih apa pun terhadap ilmu yang sudah dipelajari selama ini. Saya hanya menginginkan 'Kita masuk kuliah bareng, jadi lulus juga harus bareng' ke teman-teman saya. Saya tidak berani melawan keterbatasan diri sendiri.

Saya selalu percaya pada kutipan "You are what you read. And you are what you write." Bacaan dan tulisan yang dihasilkan, adalah cerminan dari dirimu. Saya juga yakin bahwa "A long journey will create a better person." Dan saya harus bisa menjadi a better person.

Sekarang saya sedang mengangkat suatu topik yang jarang dibahas di negeri ini, tetapi sejatinya ini sangat krusial dalam aspek keuangan. (Walaupun saya harus mengunyah puluhan jurnal internasional dan belajar metode analisis yang masih belum banyak digunakan oleh teman-teman di jurusan). Doakan saya kali ini berhasil, ya! :) Terima kasih untuk Andrea Hirata atas kalimatnya: "Beri aku hal yang paling susah dan aku akan belajar!" (Saya lupa ini ada di Padang Bulan, Cinta Dalam Gelas, atau Maryamah Karpov).

Dan dari proses kegagalan ini saya menghasilkan sebuah motto yang ditulis dalam skripsi:
Menulis adalah proses mencintai kegagalan. Bagaimana tidak? Memeras ide, mengejar momentum, bahkan menjadi masokis. Berkali ditolak. Berlipat revisi. Bukan motif royalti. Atau gelar dan sertifikasi.
Sebab menulis adalah proses mencintai diri sendiri. Sebab menulis adalah belajar untuk berbagi. Sebab tulisan yang baik, adalah tulisan yang diselesaikan. (Sofy Nito Amalia)

1 komentar

  1. Baca ini:

    - Banyak orang yang berkomentar, “Kan lo udah biasa nulis, masa nulis skripsi aja ga bisa?”. Saya cuma bisa tersenyum, “You don’t even know me, guys.” -

    Udah dapet feel yang engap banget sama yang ngomong gitu sof hahaha. Mangats sofi sayang! U can do it! Mereka cuma nggak tahu kalo dunia nulis itu banyak. Nggak melulu soal ilmiaaahhh. Kamu pasti bisa, sof! (semangatnya klise yak hahahaha)

    BalasHapus