Value added.
Ratusan kali sudah saya mendengar kata itu. Bukan hanya
mendengar malah, mengucapkan dan menuliskannya pun demikian. No wonder, saya seorang mahasiswi
fakultas ekonomi. Value added atau
nilai tambah merupakan dua buah kata sakti mandraguna yang sering saya tuliskan
di kertas ujian, demi meningkatkan diksi dan kualitas konten jawaban, demi
memperpanjang kata demi kata sehingga kalimat yang saya tuliskan menjadi
berkelas. Dan akhirnya, nilai A saya dapatkan. Sungguh mujarab. Sometimes I found my self so manipulative.
Am I wrong? I just work smart, then I play hard.
Saya sedikit mau cerita.
Waktu itu di Semarang yang sangat panas, dan di penghujung
tanggal 29, saya sedang on the way ke
warung juice langganan untuk membeli juice pisang oreo kesukaan saya. Jujur
saja minuman ini benar-benar racun. Gimana ga racun, saya tidak bisa kalau
tidak minum juice setiap hari. Kemudian
ketika kaki ini melangkah, tiba-tiba mata saya menangkap seonggok kertas kumel,
berwarna merah, bergambar peci duo proklamator (yang keliatan pecinya doang
soalnya kertasnya kucel). Aaaakk..! DUIT CEPEEEEKK! Dalam hati saya menjerit
kegirangan. Apakah ini berkah anak salehah Ya Tuhan? Di akhir bulan seperti ini
mendapatkan uang seratus ribu rupiah di pinggir jalan? Seketika di otak ini
muncul dua cabang. Bukan dua cabang seperti alisnya Nagita Slavina di resepsi
nikahannya doi, bukan. Tapi nih pikiran bener-bener nyabang jadi dua. Cabang
pertama: Nemu duit cepek di akhir bulan!
Maka nikmat Tuhan mana kah yang kau dustakan?. Cabang kedua: Ini duit siapa maak?! Mau dikembaliin kemana
ya?
Oke, anggap aja cabang pertama itu sisi iblis, yang cabang
kedua sisi malaikat. Lalu, bagaimanakah kelanjutan kisahnya? Apakah Sofy akan
mengambil uang tersebut, atau mengembalikannya?? Yaudah kalian ngga usah kepo
lah yaaa. Yang jelas saya mah anak baik *senyum nyengir kuda*.
Sekarang persoalannya ada di duit itu. Kalau kalian jadi
saya, apakah kalian bakal ambil duit seratus ribu yang kumal tadi? Harap
kesampingkan dulu tentang aspek kejujuran atau kebaikan di kasus ini, ya.
Gimana? Masih ngga mau diambil juga duitnya?
Kalau kalian jawab: “Saya
ngga mau ambil duitnya. Abisnya duit kucel, sih. Saya ga biasa mungut uang
jatoh di pinggir jalan. Mungut duit ya dari mesin ATM, lah!” Oke, saya sedikit
meragukan tentang sisi kewarasan haha. Entah gengsi atau apa ya, saya juga
tidak tahu.
Tapiii kalau kalian jawab: “Ya diambil lah. Lumayan anak kosan bisa makan enak tiga hari. Kan yang
penting nilainya!” Exactly! Itulah yang saya maksudkan. Nilainya. Nominalnya.
Walaupun kertasnya rada kumel, toh kan masih berharga? Bisa difungsikan
sebagaimana mestinya, kan? Karena apa? Karena uang tersebut bernilai. Karena
uang tersebut memiliki value added walaupun bentuk fisiknya rada kumel.
Itu aja barang, lho. Gimana kalau kita sebagai manusia? Value added yang ada jauuh dan jauuh
lebih berharga dibandingkan dengan barang. Ini kejadian murni saya alami
beberapa bulan yang lalu. Saya memang menargetkan blog visitor 10.000 views
dengan target pada bulan Oktober 2014. Bahkan saya membuat jadwal seperti ini:
Demi tercapainya keinginan tersebut, saya membuat timeline rinci, to-do-list, dan semua hal yang mendukung 10.000 page views tadi. Pokonya gimana caranya harus 10.000. Entah dibanyakin posting, kek.
Blogwalking, kek. Apa aja, deh. Yang penting blog gue musti dapet 10.000 page
views. Selalu dan selalu seperti itu yang saya pikirkan. Orientasi jumlah.
Sasaran pada kuantitas.
Tapi apa yang terjadi? Itu semua omong kosong. Saya gagal.
Saya tidak bisa mencapai target jumlah yang diinginkan. Entah karena alasan apa
pun. Jujur saja saya harus meluangkan banyak waktu untuk menulis, mengedit,
membacanya lagi, mengeditnya lagi, publish,
dan lain sebagainya. Sedangkan kenyataannya, waktu saya terpakai untuk
mengikuti kuliah, rapat, menjadi ketua panitia sebuah project, ikut kepanitiaan A dan B, kegiatan C, aargh omong kosong!
Tak akan habis alasan yang saya kemukakan untuk menghindari mengapa tidak bisa
mencapai target tersebut. Setelah dipikir-pikir, ya memang ada sesuatu yang
tidak lurus disini. Orientasi kuantitas tadi memang tidak salah, namun juga
tidak sepenuhnya benar. Saya hanya mengejar target dan target, hingga melupakan
keadaan yang sebenarnya terjadi. Bahkan mirisnya, ketika saya membuka folder draft di laptop, banyak sekali file tulisan dengan konten yang hmm,
menurut saya buruk. Karena ya itu tadi, saya terlalu berorientasi pada
kuantitas. Bukan pada kualitas. Saya kesampingkan value added dalam konten tulisan, hanya untuk mencapai goals. It was such complicated, isn’t it?
Saya sudah sadar. Value
added dan kualitas memang tidak ada duanya. Saya sudah tidak ngoyo lagi, walau tetap ada pada
targetnya. Mau buktinya??
Walaupun rencana posting sebulan minimal 4x dan realitanya
hanya sebulan 1x, tapi nyatanya blog ini dari hari ke hari selalu saja ada yang
berkunjung. Seperti sebuah sistem bisnis yang sudah berjalan, dan itu autopilot. Ga usah disetir juga bisa
jalan sendiri. Ga posting tapi tetep ada yang mengunjungi. Dan kalo
dihitung-hitung kenaikannya lumayan, lho. Alhamdulillah entah ini kebetulan
atau bukan, tapi kalau memang kita mengutamakan kualitas dan value added dalam setiap kegiatan
APAPUN, hasil yang didapatkan memang jauh lebih memuaskan.
Be good. But more
importantly DO GOOD. Chao!
Kak, aku suka cara penyampaiannya, mirip bahasa makalah tapi lebih ringan, hehe
BalasHapusMakalah apa majalah maksudnya? Haha. Btw makasih udah baca n komen ya dwi :)
HapusXD Enak banget penulisannya kak ringan wkwk...
BalasHapus