sumber: www.stylehasnosize.com
Hola, rasanya lama sekali saya ga posting disini. Hampir 2
bulan. Sebenernya nih, ada beberapa draft
yang udah disiapkan, cuma sayanya aja yang belum menyempatkan diri u,u
Kalo nginget-nginget lagi kenapa selama ini ga ada satu
postingan pun, jawabannya.. ehm.. semacam bulan-bulan ini lagi ga ada asupan
bacaan. Bener-bener jarang banget baca (re: baca buku non kuliah). Jarang ke
perpus, apalagi toko buku. Yah you know,
menulis kan salah satu refleksi dari membaca. Kalo ga ada yang dibaca, ga ada
juga yang mau ditulis. Postingan kali ini juga lain daripada yang lain, karena
langsung publish. Biasanya setiap
kali mau posting, saya nerapin sistem
draft dan nyicil setiap hari, setelah
itu baru deh editing. Tapi kali ini
mau coba sedikit beda dengan “rada nyablak”.
Oke, langsung mulai aja ya..
Tau ga sih, generasi sekarang itu kaya gimana? -- “Kita ini
generasi penerus!”, mungkin ada lagi yang bilang, “Stay young and forever”, dan mungkin ungkapan yang lainnya. Nih,
sebenernya kita-kita ini yang generasi muda (sst yang udah tua diem aja :p),
hidup di jaman serba modern, globalisasi tingkat tinggi, bahasa kerennya no borderless, artinya dunia tanpa
batas, disebut generasi Y. Apa itu generasi Y? Intinya, generasi Y hidup di
dunia internet, dengan segala informasi yang luas dan mudah untuk diperoleh.
Generasi ini sangat melek dengan teknologi juga up to date. Buat lebih lengkapnya mengenai generasi Y bisa cek
Google, guys.
Dengan segala tanda di atas, bisa bayangin kan apa aja
implikasinya? Yap, anak muda sekarang jadi casciscus conversation menggunakan bahasa negara lain, adanya kontes breakdance, modern dance, disk jockey, dll.
Urusan style, fashion, apalagi
makanan dari luar negeri udah biasa banget kita santap. Mungkin masih banyak
lagi yang lain.
Sadar ga sih, dari semua hal di atas, kalo ngikutin arusnya,
kita jadi generasi mainstream? Gimana ga mainstream, hampir semua teman di lingkungan
kita mungkin juga melakukan hal yang sama. Coba diresapi sebentar, mungkin
inilah penjajahan era sekarang, bukan dengan berperang, tapi melalui pergeseran
kebudayaan dan pemikiran, isn’t it? Yah
mungkin ini murni pendapat dari apa yang dipikiran aja, cuma udah banyak bukti
kok tentang generasi kita yang “udah lupa sama kebudayaan bangsa sendiri”.
Kemarin barusan Kartini-an, ada beberapa survey yang membuktikan bahwa masih
banyak temen-temen kita yang ga kenal Kartini itu siapa. Helooow, separah itu
kah? Ini baru dari sudut pandang nasional, belum ke daerah lho. Yakin deh, kalo
dihitung pake statistik cuma segelintir dari seratus persen anak muda Indonesia
yang masih peduli sama budaya Indonesia dan budaya daerah. Jadi, #kitakudupiye
guys?
Yuk coba kita berkaca sebentar, mau dibawa kemana era
generasi muda Indonesia. Kita bisa melihat dari diri sendiri dulu, kok. Contohnya,
saya yang etnis Jawa, belajar menyukai tembang Jawa, tembang dolanan-nya dari
Wali Songo, lagu keroncong—campursari, sastra Jawa seperti Maskumambang,
Dandang Gula, Bapak Pocung, dll. Juga kebudayaan daerah setempat seperti tatakrama
dan adat istiadat. Apa yang saya lakukan itu bukan berarti jadul atau ga gaul
lho, saya juga senang membaca novel bahasa inggris, menulis postingan dengan
bahasa inggris, contohnya bisa dilihat disini, dan belajar kebudayaan negara
lain juga. Dari temen-temen sendiri yang berasal dari etnis beragam, bisa
disesuaikan dengan kebudayaan daerah masing-masing ya! Kita bisa kok menyeimbangkan
budaya dalam negeri (daerah) dan luar negeri. Karena kenyataannya, masih banyak
diantara kita yang cuek sama kebudayaan daerah sendiri dengan alasan “ga gaul’,
“ngebosenin”, dan bermacam alasan lain. Kalem aja, itu cuma perbedaan mindset kok! Selama kita menganggap
sesuatu yang membosankan, ya pasti ujungnya beneran membosankan, begitu pula
sebaliknya.
“Sometimes there is no
next time, no second chance, no time out. Sometimes it is NOW or NEVER –quotes-“
Yuk jadi generasi muda antimainstream mulai dari sekarang J !
Setuju gak sama kutipan, "Pada akhirnya yang antimainstream akan menjadi mainstream juga."
BalasHapusBecause antimainstream is becoming too mainstream - 9gag. Ya, karena semuanya hanyalah masalah waktu. Semakin lama dan semakin banyak yang antimainstream, ujungnya jadi mainstream juga kan.
HapusHI,
BalasHapusKeren yaaa....
Mampir juga yuk ke http://gebrokenruit.blogspot.com/2014/04/bermimpilah-untuk-menjadikannya.html
Terima kasih banyak;)
Keren banget posting blognya bang! Moga kesampean ke Singapur nya ya. Folbek jangan lupa ya makasih
HapusKalo telalu anti mainstream butuh usaha ekstra bgt mbak
BalasHapusKalo aku pilih mainstream terkendali :)
Good! Lanjutkan prinsipnya mas ;)
Hapussofyy... aku suka tulisanmu deh :)) emg aku jg spendapat sm km kl anak muda skr cm bs ikut2an dan menganggap kl budaya dr negara lain itu lbh keren, jd lama-klamaan budaya pribumi pun jd tergeser dan parahnya mereka ga aware sm kasus ini. Kalo yang sadar cm dkit miris ya sof :( , padahal Indonesia punya beragam kebudayaan yang luar biasa dan gak kalah sm negara lain kl generasi mudanya bisa melestarikan dan mengcombine nya . by the way, aku pun lbh suka mjd berbeda. For me,being mainstream or anti mainstream, it depends on the case. :)
BalasHapusWiiw Ani long time no see you, even in sosmed, how's life? :D
HapusThanks a bunch ya Ani hehe. Iya bener, sekarang emang begitu faktanya kan. Ini jadi PR buat generasi kita. Diferensiasi dan minoritas terkadang merupakan suatu keharusan, bener kan? Hehe
Iya, semuanya tergantung kasusnya gimana dulu ya Ni. Btw, km ngeblog juga?
gua juga sekarang lagi nyoba kegiatan anti mainstream, dan berasa keren sendiri daripada yang lain hahahaa
BalasHapusKalo boleh tau kegiatan antimainstream nya apa bang? Haha semoga semakin kece sama kegiatannya itu ya.
HapusDengan kata lain menjadi minoritas. Dengan kata lain menjaga kelestarian budaya. Dengan kata lain menjadi diri sendiri yang berbeda dengan orang lain. Nice article mba ^^(y)
BalasHapusYapyap bener banget. Sip thanks a lot udah kunjung dimari ya ;)
Hapus