Setelah berkaca dari pengalaman sembilan belas tahun bergelut dengan dunia fana ini *asik bahasanya*. Aku mencoba memetakan kejadian-kejadian masa lalu yang sepertinya memungkinkan disatukan kembali dalam sebuah kepingan-kepingan baru di masa sekarang. Tulisan ini sengaja dibuat untuk sekedar mengingatkan lagi, mungkin suatu hari nanti saat aku sedang lemah, sedang down, atau kehilangan semangat, tulisan ini bisa menyemangatiku untuk bangkit lagi dan mengalahkan rasa lelah. Hopefully.
Aku termasuk beruntung dilahirkan dari keluarga sederhana.
Tinggal di sebuah rumah biasa di sebuah kampung yang mayoritas berpenduduk
oriental, di daerah timur kota Semarang. Masa kecil yang bahagia, seperti
anak-anak lain pada umumnya. Berangkat sekolah pun sudah naik bus dan terkadang
jalan kaki sejak kelas 3 SD, yah walau sampe sekarang masih juga sih. Terkadang
mengeluh menjadi sesuatu yang wajar, saat hal-hal seperti tadi dirasa
memberatkan. Sampai suatu waktu, aku pernah bertanya langsung kepada Papa,
mungkin saat itu aku masih kelas 4 SD, “Pah, kenapa Opie kalau sekolah harus
naek bus terus? Kan capek Pah, mana panas lagi. Tas Opie juga berat banget”.
Waktu itu masih sangat ingat, Papa menjawab, “Papa pengen anak Papa itu berani
dan mandiri. Walau Opie perempuan, tapi Opie harus berani. Harus bantu Papa
Mama. Supaya nanti adik-adik Opie niru dan seneng punya kakak kaya Mba Opie”.
Waktu itu jawabku cuma bisa mengangguk-angguk, tapi akhirnya sekarang aku tahu
maksud dari ajaran Papa Mama sedari kecil. (Jujur, ketika mengetik tulisan ini,
aku terharu saat ingat percakapan sederhana ini berlangsung beberapa tahun
silam, saat aku masih “bocah”, hingga sekarang tak terasa aku sudah “hampir”
menjadi seorang wanita dewasa).
Dididik dengan konsep hampir tidak pernah untuk dimarahi,
aku dan ketiga adikku tumbuh dalam lingkungan “yang bebas”. Bebas mengikuti
kehendak hati kami. Bebas memilih bidang yang kita suka. Apa pun demi anaknya, selama mereka
bisa, pasti akan memfasilitasi. Apa pun demi kami. Apa pun itu. Papa Mama
memang jarang sekali memarahi aku dan adik-adikku dalam masalah sekolah.
Terutama dalam masalah nilai. Kata mereka, “Setiap anak tidak selalu dilahirkan
untuk jadi cerdas dalam bidang akademik, termasuk kalian. Tapi kalau kalian
emang bisa, kenapa enggak dicoba dulu?”. Saat aku baru masuk caturwulan 1
hingga 3, nilai-nilaiku hambar dan biasa saja. Aku sampai heran mengapa
orangtua tidak memarahiku seperti orangtua lain yang memarahi teman-temanku.
Mereka cuma bilang, “Kalau Opie belum bisa ga apa-apa kok, kan Opie baru
belajar. Yang penting Opie coba terus, pasti lama-lama bisa. Kalau
ujung-ujungnya Opie ga bisa juga, yaudah, mungkin Opie emang ga jago dalam
bidang itu. Karena Opie pasti jago di bidang lain.”
Kalo inget ucapan Papa Mama yang ini, aku langsung teringat
sama Fachri, adikku yang nomer dua. Dia termasuk anak yang paling ga bisa
anteng kalau belajar. Kesana kemari, mondar mandir, belajar sambil main
Football Manager lah, intinya ga bisa diem. Ya jelas, nilainya biasa-biasa saja
bahkan cenderung jelek. Tapi Papa Mama mana pernah memarahi dia. Paling hanya
motivasi dan kadang-kadang menyindir, “Le, mbok sinau ekonomine disegrepke
sithik wae to. Besok katanya mau masuk Smaga” Fachri biasanya jawab, “Udah Pah
tapi aku ga mudeng-mudeng. Aamiin ya Pa, Fachri masuk Smaga”. Ya, itu lah Fachri.
Lemah dalam mata pelajaran ekonomi dan hal-hal yang berbau IPS, tetapi dia,
menurutku sangat jenius dalam bidang musik, terutama bermain gitar. Hanya
mendengar melodi musik saja, biasanya dia langsung cepat memainkan dan bisa
meniru melodi tersebut. Lagu-lagu Avenged Sevenfold dan Depapepe yang menurutku
sangat sulit, dia bahkan bisa memainkannya. Tidak jarang dia menemukan gaya
memetik dan chord sendiri yang memang bunyinya sama seperti aslinya. Menurutku
orang yang jago di bidang musik itu jenius, dan jujur saja aku iri terhadap
mereka. Aku bahkan ingat, cita-citaku dulu jaman kecil adalah menjadi pemain
flute orchestra tingkat dunia, dan kini kutahu itu cuma mimpi belaka hahaha.
Tetapi konsep tidak pernah dimarahi itu tidak berlaku
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan urusan agama dan moral. Sewaktu kecil,
kalau Papa Mama tahu aku tidak penuh salat 5 waktu, atau aku bangun terlambat
untuk salat subuh, juga kalau aku malas dan malah kabur untuk tidak mengaji,
beuh.. jangan harap ada kata ampun. Papa Mama sangat galak dan disiplin dalam
urusan ibadah dan moral. Bahkan untuk masalah sepele seperti nilai agama adikku
akhir semester ini, mereka pun sempat protes, “Papa Mama tahu ya kalau Rizqi
sekolah SMPnya negeri, tapi ini jelek kalau nilai agama Rizqi Cuma dapet 80.
Kamu anak Sultan Agung, harusnya agama kamu bisa lebih baik daripada ini.”
Bahkan untuk aku, yang usianya sudah hampir “kepala dua”, di Jogja, di Jakarta,
atau saat balik rumah Semarang pun, selalu saja diingatkan Papa, “Opie
fardhunya jangan telat, duha, ngaji, tahajud, sodaqoh sing kenceng nduk”. Dan
aku selalu merasa senang saat sudah sebesar ini, masih saja diingatkan mengenai
ibadah, itu menurutku benar-benar kepedulian dan kasih sayang Papa Mama
terhadap anaknya. Terimakasih Pa, Ma, love you.
Kembali lagi ke masa kecil. Aku sering iri saat teman-teman
misalnya punya sepeda baru, mainan baru, atau entah apa pun itu suatu hal yang
baru. Aku juga ingin seperti mereka, yang walau memang sadar diri, bahkan aku
sering tidak berani meminta apa-apa dari orangtuaku. Waktu itu, aku masih
sangat ingat, di suatu sore sehabis bermain sepeda, dan usiaku baru 7 tahun, aku
memberanikan diri untuk bertanya:
Opie: “Pah Opie mau sepatu baru sama beli buku di Gramedia”.
Papa: “Boleh, Opie harus bisa apa dulu?”
Opie: “Maksudnya gimana Pa? Opie ga paham.”
Papa: “Maksudnya, Papa minta Opie buktikan ke Papa kalau
Opie memang pantas dapet sepatu baru sama beli buku di Gramedia. Opie mau usaha
apa buat dapetin sepatu sama buku baru? Papa terserah Opie aja.”
Opie: “Kok gitu Pa, kok susah? Temen-temen Opie aja enak
banget minta terus dikasih, kalau Opie kok harus kaya gitu?”
Papa: “Pie, gini.. Maksud Papa kaya gini itu baik. Supaya
Opie mulai dari sekarang nih, mumpung Opie masih kecil, Papa mau anak Papa
enggak jadi anak manja, semua harus usaha Pie.. Papa seneng kalau lihat anak
Papa mandiri, mau usaha dulu baru nanti ada hasilnya. Bukan tiba-tiba dapet
hadiah. Opie sekarang paham maksud Papa?”
Opie: “Iya pah. Opie harus usaha ya.”
Papa: “Iya sayang, anak Papa harus usaha dulu. Gimana kalau
Opie coba caturwulan ini Opie mau jadi sepuluh besar mungkin?”
Opie: “Ehmm kalau Opie rangking 4 gimana Pa? Janji ya
belikan Opie sepatu sama buku?”
Papa: “Opie yakin rangking 4? Kalau Opie yakin, lanjutin
aja. Yang penting Opie sama Papa, kita sama-sama janji ya. Oke?”
Opie: “Iya pah! Opie janji. Toast dulu dong Pah!”
Papa: “Oke. Janji! Toast.”
Ya, daridulu hingga sekarang pun, aku terbiasa untuk meminta
hal-hal yang aku inginkan melalui sebuah persyaratan. Semuanya harus dimulai
dengan sebuah usaha, sebuah proses, untuk mendapatkan suatu hasil. Sampai
sekarang, masalah beli sepatu saja, aku jarang meminta dan menabung untuk
membelinya. Pernah waktu itu aku minta dibelikan karena memang sepatu
satu-satunya rusak dan tidak bisa digunakan untuk sekolah. Walau terkadang
tanpa meminta pun, aku dibelikan sesuatu, yang kata mereka “Ini kewajiban Papa
Mama buat anak-anaknya. Kewajiban adalah tanpa persyaratan”. Dan aku selalu
tersenyum ketika mendengarnya J
Setelah sekian tahun dididik dengan sistem seperti itu, aku
merasakan suatu kesakitan, yang mungkin pertama kalinya kurasakan dalam hidup.
Kehilangan terhadap hal yang aku benar-benar sukai. Ini semua bermula dari
minatku terhadap berhitung dan aritmatika sejak kelas 2 SD, kemudian Mama
memasukkanku dalam sebuah sanggar hitung aritmatika. Awalnya aku menolak untuk
diles-kan karena faktor biaya yang mahal, karena aku sadar diri bahwa aku bukan
anak orang kaya. Uang dua-ratus-empat-puluh-ribu-rupiah di tahun 2001 per bulan
untuk biaya les menurutku sangat mahal, tetapi Mama ngotot dan dengan entengnya
menjawab, “Mahal ndak apa-apa nduk, yang penting Opie seneng dan Mama yakin
Opie bisa berkembang disitu”. Hingga pada suatu saat, kondisi perekonomian
keluarga kala itu benar-benar di ujung tanduk, dan aku peka terhadap situasi
keluarga. Untuk makan saja sudah syukur alhamdulillah, uang SPP sering
diperingatkan, apalagi untuk membayar biaya les aritmatika. Aku tahu mereka
sudah angkat tangan, tetapi aku pun tahu mereka diam saja. Aku sudah tidak
tahan dengan kondisi ini, sampai aku bilang, “Ma Pa, Opie gausah sekolah aja,
biaya sekolah SD swasta mahal. Atau Opie pindah SD negeri aja. Opie masih ada 1
tahun lagi buat lulus, jadi mungkin masih bisa pindah. Opie juga mau keluar
dari les aritmatika, kurang 1 level lagi buat tamat tapi gakpapa. Opie udah
cukup kemarin bisa juara 1 nasional aritmatika, gak tamat level gakpapa. Yang
penting adik-adik bisa makan.” Jelas, Papa Mama kaget melihatku berbicara
seperti itu. Aku yang saat itu baru kelas 5 SD pun rasanya tidak percaya bisa
berkata senekat itu. Aku saja hampir menangis saat mengatakan semua yang aku rasakan.
Pikirku “Ini sudah saatnya merelakan hal-hal yang aku sukai dan mungkin harus
belajar menyukai “cerita yang Tuhan pilih untuk keluarga kami”. Kemudian Papa
menjawab, “Ga ada alasan buat anak-anak Papa Mama berhenti sekolah. Semua harus
sekolah di SD swasta, ga ada kata-kata pindah di SD negeri. Agama harus jadi pondasi
sejak kecil. Papa Mama mau punya anak yang agamanya kuat. Opie sama adik-adik
harus tetep sekolah. Apa pun yang terjadi, Opie ga usah mikirin Papa sama Mama
dapet uang darimana buat bayar sekolah kamu sama adik-adik. Yang perlu Opie
pikirin cuma satu, Opie harus belajar giat buat nerusin semua mimpi Opie.
Anggap aja semuanya ga ada masalah ya nduk? Kita harus bisa ngejalanin ini
semua. Papa, Mama, Opie, Helmi, Fachri, Rizqi, kita semua lagi diuji sama
Allah. Karena Allah sayang sama kita. Sekarang Papa sama Mama minta, Opie
bener-bener pahamin kondisi kita. Bantu Papa Mama dengan belajar sama berdoa
terus di setiap salat Opie. Opie ga usah mikirin soal uang, atau apa pun itu.
Cuma belajar sama berdoa. Opie bisa kan?”. Dan kutahu, saat itu hanya tangis
yang mengalir dari kedua mataku yang bisa menjawab pertanyaan Papa.
Setahun berlalu, tak kusangka semuanya terlewati secara luar
biasa. Bisa meraih rangking satu peraih nilai UAN tertinggi di SD Islam Sultan
Agung 01-03 menjadi sebuah kebanggan tersendiri. Kebanggaan di tengah kondisi
yang menekan dan mengharuskan untuk menghadapi kenyataan pahit. Menyadari bahwa
rencana Allah untuk seorang ibu yang melahirkan anak pertama bernama Sofy Nito
Amalia. Ya, kusadari bahwa pilihan bahwa aku dilahirkan sebagai anak nomor satu
adalah sebuah tanggung jawab tersendiri untukku. Sampai sebesar ini, setelah melalui
proses menuju kedewasaan dengan “rekoso”, kali ini aku merasakan sebuah
kegagalan besar. Setelah lulus dari STM yang hampir setiap harinya praktek,
sekarang aku hanya berkutat dengan teori dan teori. Menjadikanku sebagai seorang
manusia, yang menurutku menjadi terlalu pemikir. Aku merindukan diriku yang
dulu jadi anak, mungkin, yah bisa dibilang sembrono. Tidak pernah membaca
perintah dulu baru melakukan kegiatan. Yang mungkin kemana-mana nekat dan
kadang tidak berpikir dua kali untuk melakukan suatu hal. Ditambah proses
didikan kedua orangtuaku yang sebenarnya sangat mendukung kondisi yang aku
hadapi sekarang. Aku sudah terbiasa dengan keterbatasan. Masa kecil hingga
sekarang dihadapkan dengan kondisi yang mau tidak mau harus memahami keadaan. Semuanya
ini skenario. Masterplan Tuhan untukku. Segalanya sudah dirancang secara
cermat, untuk dapat dibuktikan oleh seorang Sofy Nito Amalia. Dan aku sadar aku
kali ini gagal. Gagal memanfaatkan kondisi yang Tuhan sudah berikan sebelumnya.
Tapi yang penting aku harus bangkit dari kegagalan ini. Aku tahu ini kondisi
real yang “ada di lapangan”. Dan mungkin, waktu ini yang paling tepat untuk
memulai. Di saat hampir melangkah ke “kepala dua”. Proses dari bocah menuju
pencarian jati diri dan kedewasaan. Ini memang waktunya. Sekarang.
Semarang, Mulawarman, Minggu 23 Juni 2013. 21:29 PM.
Sofy Nito Amalia. Bismillahirrahmanirahiim.
Tidak ada komentar