Postingan ini adalah lanjutan dari cerita kemarin yang
mengisahkan tentang segala hal yang berkaitan dengan aku dan bus kota. Lalu
kemana “anak jalanan” nya?
Kumpulan cerita yang terjadi bermula dari seringnya aku naik
bus kota dan selalu menjumpai anak jalanan yang sedang “bekerja”. Bekerja dalam
artian untuk makan, setor upah, atau bahkan ngelem? Cuma mereka yang tahu
jawabannya.
--
12.00 PM. Semarang dalam posisi yang sangat terik. Matahari
tega sekali menjadikan tapak ini semakin gontai untuk melangkah. Dalam kondisi
seperti ini masih mengharuskanku kembali ke rumah hanya untuk mengambil sebuah
dokumen? Padahal panas menyengat begini? #YaSudahlahSofJanganMengeluh.
Seperti biasa kalau mau balik rumah, rutenya: jalan kaki
dari kosan sampai kantor pos - naek angkot kuning - turun patung kuda Diponegoro
- naek bus kota jurusan Johar Terboyo Banyumanik - turun PLN Pemuda – jalan kaki
lagi sampai rumah. Dengan rute yang seperti ini, saya bisa menghabiskan waktu
hampir satu jam hanya untuk turun dari Tembalang sampai ke Gajahmada. Sedangkan
jika mengendarai motor, hanya dengan waktu 30 menit (bahkan kalau saya
yang naik motor bisa 15 menit dengan catatan jalanan tidak begitu rame) udah
sampe di rumah. Tapi ini lah sensasinya naek bus! Banyak gregetnya! Hehehe.
Sebenarnya yang jadi persoalan dan membuat lama di dalam bus
biasanya ada empat faktor; yang pertama angkot kuning sering muter-muter dulu
ke daerah kampus untuk cari penumpang, sehingga penumpang-penumpang yang turun
di Ngesrep dinomorduakan. Yang kedua, bus kotanya ngetem karena bukan waktunya “traffic rush” yang notabene anak-anak
sekolah plus karyawan-karyawan pada berangkat atau pun balik. Ketiga, terjadi
kemacetan di daerah Jatingaleh yang mengharuskan saya untuk bersabar di dalam
bus. Dan yang terakhir adalah, faktor saya
ketiduran di dalam bus. Sering saya mendapati diri ini terbangun dan
ternyata sudah sampai Kantor Pos Pasar Johar. Bahkan yang lebih parah waktu itu
ternyata terbangun di daerah Stasiun Tawang yang jaraknya “lumayan” kalau dari
rumah. KEBABLASAN. Ya, itu lah faktor terakhir yang menurut saya sangat konyol.
Bayangkan saja, di kala waktu semakin lama karena rute semakin jauh dari
tujuan, itu masih mengharuskan saya untuk turun, menunggu bus lagi, naek bus
lagi, jalan kaki, baru lah sampai rumah. Sebegitu ribetnya kan? Tapi yang
namanya rasa kantuk memang dasarnya tak dinanya tak diduga sering muncul secara
tiba-tiba. Walau jujur saja, sebenarnya saya tipe orang yang pelor (nempel
molor) juga sih hehehe (Duh, akhirnya ngaku juga - -“) .
.................... (Baru sadar ternyata sudah melenceng
jauh dari topik cerita. Oke, lanjut.)
Waktu itu bus kota tengah melaju kencang karena turunan dari
daerah Gombel menuju Jatingaleh. Sampai di Pasar Jatingaleh, seperti biasa bus
selalu ngetem di bawah jembatan penyebrangan, disusul naiknya dua orang
pengamen yang wajahnya asing. *Catatan: karena terlalu sering naik bus, secara
tidak langsung aku hafal wajah-wajah pengamen, pengemis, dan warga jalanan
lainnya, tempat mangkal dan naik busnya, bahkan sampai lagu yang dibawakannya.
Kulihat sekilas. Kucal dan dekil. Layaknya pengamen pada umumnya. Tetapi yang
ini masih abege, seperti anak SD-baru-puber-lalu-menginjak-bangku-SMP. Mereka
sepertinya tidak sadar, mata ini sedari awal menatap dan memperhatikan mereka.
Sepertinya bakal ada sesuatu menarik yang akan terjadi, feelingku sih begitu.
“Crek.. crek.. crek..”
“Aku iki wong ra nduwe”
“Jare bapak aku wes gedhe”
“Aku iki nakal dhewe, aku iki
ndableg dhewe”
“Satus rongatus kulo terimo”
“Sewu rongewu tak damel nedha”
“Limangewu kulo anggep morotuwo”
“Seketewu wes mesti ditrimo”
“Jaman saiki jaman abege”
“Akeh prawan ketok udele”
“Dikandhani kok malah ngece”
“Jarene nambahi pede”
“Kok ra isin karo bapake..”
“Jreng.. jreng.. jreng..”
“Penumpang seng amale kurang”
“Neng neroko dijegurke jurang”
“Penumpang seh okeh amale”
“Sesok sesok entuk penake”
“(Neng suargo dipakani sateee).”
“Ciri-cirine iku wong pelit”
“Jare ngamale ra tau”
“Paribasan ono wong ngamen”
“Jebule etok-etok turu”
“(Etok-etok turu karo ngampet
ngguyuuuu..”).
“Crikicriik.. jreng Ejrengejreengg..”
“Yaa.. sekian celotehan dari
kami, para anak jalanan. Maaf jika suara hati kami mengganggu perjalanan Anda. Semoga
para penumpang selamat sampai tujuan. Hati-hati barang bawaan jangan sampai
tertinggal.........dst”
Itulah tadi, beberapa penggal kisah “Jeritan hati anak
jalanan”yang dilagukan dengan nada “Shalatullah salamullah”. Blak-blakan saja
ya, sebenarnya saya ini tidak hafal dengan lirik lagu tersebut. Kenyataannya, saat
mendengar nada dan lirik pertama dari pengamen itu, sontak langsung ambil hape
dan mencatatnya di draft. Ada rasa menggelitik saat mendengarkan duo pengamen
tadi berduet. Jelas, liriknya sangat unik. Ada rasa kejujuran, keprihatinan,
bahkan mungkin ancaman terhadap penumpang yang tidak mau membayar “jasa suara”
mereka. Yang bikin salut, mereka membawakan lagunya dengan indah. Sebenarnya
suaranya biasa saja, tapi petikan + genjrengan gitar dibawakan dengan mumpuni,
serta dikombinasikan dengan cekrekan tutup botol dengan sangat apik. Layaknya lead guitar (cekrekan) dan rhytm guitar (gitar) yang diaransemen dalam suatu alunan gita dengan lirik
yang “polos” tapi sarat dengan makna. Satu yang tak bisa dibohongi dari
penampilan mereka adalah, ekspresi yang benar-benar real ditonjolkan dan dipersembahkan untuk para penumpang bis kota.
Dengan kondisi seperti itu, apakah Anda bisa menebak? Ya, masing-masing orang
dengan sukarela memberikan satus, rongatus, bahkan lebih, kepada mereka sebagai
tanda persetujuan jeritan hati mereka; para anak jalanan. Walau yang terpikir
di benak ini berbeda, “Jangan-jangan semuanya memberi receh karena takut dengan
ancaman duo pengamen di lagu tadi hehehe”.
--
12.46 PM. Sampai lah sudah aku di depan kantor PLN Jalan
Pemuda. Lebih dari 45 menit bus tadi di jalan. Alhamdulillahnya saya tak
kebablasan. Dan sepertinya saya harus berterimakasih terhadap dua orang
pengamen cilik tadi, yang membuatku berpikir dan merenung sehingga diri ini
tetap terjaga. Sejenak mengingat momen tadi, pikiran ini membayangkan secara
sederhana: Seandainya, seandainya loh ini,
Pak EsBeYe naek bus yang sama dengan yang aku naiki tadi, lantas apa yang
akan beliau lakukan? Akan kah mungkin, saya yang semisal duduk di sebelah
bangkunya mengajaknya berbicara sambil membawa UUD 45, “Ini lho pak, saya baca disini, tepatnya di Pasal 34 ayat 1 yang
berbunyi, ‘Fakir miskin dan anak-anak
yang terlantar dipelihara oleh negara’. Sebenarnya apa maksud substansi
dari UUD 45 tersebut ya pak?”
Bangun dari khayalanku yang gila mengenai
tiba-tiba-Pak-SBY-naek-bus-terboyo-johar-itu, sebenarnya nalar ini masih terus
meraba-raba. Benarkah contoh perbuatan duo pengamen tadi? Yang meluapkan segala
perasaannya dan menuangkannya dalam suatu bentuk lagu? Ataukah salah
Undang-Undang? (Hey, yang namanya UUD tidak bisa disalahkan!). Apa kah salah
legislatif si pembuat Undang-Undang? Jawab woy, SEBENARNYA INI SALAH SIAPA??!
*Tarik napas dalam-dalam—hembuskan...*
Ya, sebenarnya kita tidak patut menyalahkan keadaan,
seseorang, bahkan takdir. Sebagai bangsa yang besar, kita dituntut untuk pro
aktif dalam menyikapi segala permasalahan yang terjadi, apalagi di negara kita
sendiri. Akan tetapi.. (ada ‘tapi’nya nih), yang masih menjadi pertanyaan besar
itu “Sebenarnya ini salah siapa” tadi. Akan kah pertanyaan tersebut menjadi
pertanyaan retoris yang tidak perlu untuk dijawab? Atau kah kita harus menjawab
dengan kalimat klise, “Hanya waktu yang mampu menjawabnya”? Begitu kah?? Yah,
Entahlah....
***** Bersambung ke “Antara
aku, bus kota, dan anak jalanan (Part 3)”
Tidak ada komentar