Aku bukan di sini, bukan tempat dimana aku menginjakkan
kaki.
Kepalaku mendongak, menatap tingginya skyscrapers yang berjejer, seakan menantangku untuk dapat mencapai
puncaknya. Asap tebal membumbung, sesak, memenuhi hidung kemudian tembus ke paru-paru.
Jalanan bising dan penuh dengan suara klakson. Ya, inilah ibukota. Metropolitan
penuh sejuta mimpi. Sekian juta orang menggantungkan cita-cita dan harapannya
di kota ini. Termasuk aku.
Mungkin ini gila saat tersadar bahwa aku sudah berada di tengah
kerumunan padat orang. Aku tak tahu apa-apa mengenai kota yang setiap hari
muncul di televisi ini. Aku buta. Yang aku paham, mungkin, adalah kata-kata
yang sering aku dengar dari kebanyakan orang: “JAKARTA ITU KERAS”. Dari
sepersekian kemungkinan orang-orang berkompetisi, konon katanya HANYA ADA 2%
orang yang bisa sukses. Entah itu sukses dalam pengertian yang seperti apa, aku
pun tak tahu. Yang aku tahu hanya, “Sukses itu merupakan salah satu yang
termasuk dalam relativitas”.
Aku, begitupun Anda, pasti ingin termasuk dalam salah satu
dari yang dua persen itu bukan??
Waktu terus berputar dan semakin membuktikan “JAKARTA ITU
KERAS” dengan benar-benar nyata. Saat dimana aku mulai merasakan “I’ve got it all on my comfort zone”,
ada beberapa peristiwa yang mengganggu pikiran dan batinku. Aku merasa
diperlakukan tidak adil oleh seseorang yang memiliki kuasa terhadapku. Hampir
setiap hari, kata-kata yang jika-didengar-membuat-telinga-bergidik selalu aku
dapatkan. Menahan diri dan selalu berpikir, “Ini resiko, ini ujian, sudah
terima saja.” Tapi lama kelamaan aku semakin tidak kuat merasakan ini semua.
Mungkin, karena “aku yang terlalu polos” dan tidak bisa membedakan bahwa ini
ternyata sudah melampaui batas. Buktinya orang tuaku sampai marah besar
terhadap semua perlakuan yang aku dapatkan. Aku masih mencoba tetap bertahan,
saat mengingat semua peristiwa yang telah terjadi sebelum adanya peristiwa ini.
Ayahku, Ibuku, dan ketiga adikku, hanya mereka lah yang mampu membuatku tetap
bertahan. Keterbatasan, memang mengalahkan segalanya, dan aku sadar ini lah
“sense of urgency” yang sebenarnya aku rasakan. Tetapi akhirnya “perasaan” lah
yang menang. Perasaan yang di dalamnya berkecamuk rasa sakit yang teramat
sangat, yang diluarnya terdapat benteng untuk bertahan yang akhirnya runtuh
juga. Hingga suatu hari, aku mendengar melalui telingaku sendiri, bahwa aku
disumpah untuk tidak akan bisa meraih cita-cita dan impianku untuk menempuh
studi lebih lanjut, tentunya oleh orang yang memiliki kuasa itu. Aku marah,
benar-benar marah hebat. Kepalaku panas, tubuhku bergetar, semua rasanya hampir
meledak. Aku merasa dihina, diinjak-injak, dan tidak memiliki pengakuan atas
hak yang aku peroleh. INI SUNGGUH GILA!
Tanpa pikir panjang, saat itu juga bibir ini berucap dan
bersumpah, “Aku pasti BISA meraih apa yang aku inginkan. Nahkoda hidupku adalah
aku, bukan kau, atau siapa pun. Tak ada seorang pun yang berhak mengaturku,
kecuali aku. Aku akan buktikan bahwa aku TIDAK SEPERTI YANG KAU PIKIRKAN.
Mungkin kali ini kau bisa berkata seperti itu, tapi tidak untuk besok!”
##
Pikiranku buyar saat ada orang yang mengetuk pintu rumahku,
dan itu ternyata adikku yang datang sepulang dari sekolah. Ini nyata. Aku sudah
kembali ke tanah kelahiranku. Menjalani aktivitas sehari hari: kuliah, ke
kampus, bermain dengan teman-teman, dan berkumpul kembali dengan keluarga. Aku
tersenyum, “Aku menang.” Ya, aku menang. Tapi ini semua baru pembuktian kecil.
Mau tahu pembuktian besarnya? Dan melihat aku mematahkan semua sumpah serapah
yang dikatakan orang itu beberapa waktu silam? Kita lihat saja nanti J
*Kejadian ini membuatku belajar akan pentingnya menjaga
hubungan baik dengan semua orang, tak terkecuali. Berusaha menjalin relasi dan
sama-sama menjaga hati satu sama lainnya. Karena orang yang sakit hatinya itu
berbahaya, sangat berbahaya. Ketika dia memiliki doa dan niat untuk membuktikan
tentang perlakuan yang mengakibatkan rasa sakit hati itu. Percayalah, doa orang
yang terzalimi itu mujarab. Jadi hati-hatilah dalam berkata-kata dan menjalin
hubungan dengan orang lain. Mungkin inilah yang dinamakan “the power of
painful”
Tidak ada komentar