Ketika Lo Punya Timbre Tersendiri dalam Sebuah Goresan



Di suatu momen, tiba-tiba ada orang datang nyeletuk, “Gua baca tulisan lo kemaren, dan itu khas banget!”. Kalo ada orang ngomong kaya gitu, respon apa yang sebaiknya lo ucapin? Kalimat apa yang kudu lo omongin ke dia?




Kejadian kaya tadi akhir-akhir ini menimpa gue. Ya, gue ngerasa bahwa apa-apa yang ditulis disini menonjolkan karakter dari kepribadian gue (itu dari kata orang). Beberapa “pengunjung setia” blog ini sering komen (walo kenyataannya hanya segelintir orang), “Ini blog, elo banget lah sob”, atau “Gue udah nebak deh, artikel ini pasti lo yang nulis kan?”. Kalimat-kalimat yang mirip seperti itu sering dialamatkan. Kemudian... euhm sebentar, rasanya ada yang janggal. Iya, ini ga biasanya nulis pake gue-elo. NGGA GUE BANGET GITU. Gue ga muna ya. Secara bukan orang asli Betawi. Kalo kalimat yang kaya gitu emang bukan aku banget. Naah, sekarang kayanya uda pas lagi kan ya? Hehehe *2 kepribadian* *poker face*

Kalo kalian udah beberapa kali baca blog ini, mungkin udah nangkep deh sama gaya penulisannya. Awalan gue-elo di atas tuh, emang sengaja aku jadiin contoh kalo gaya penulisan seperti itu emang bukan aku banget. Kalo kata Raditya Dika, seorang penulis harus punya voice yang bisa ngebedain antara tulisannya dia dengan penulis lain. Kalo kataku disini lebih seneng nyebutnya pake “timbre”. Yah, ga beda jauh sih sama “voice”nya Raditya Dika. Agak kurang nyaman aja gitu. Lebih enakan pake istilah timbre. Penulis itu ibaratnya kaya penyanyi. Nih langsung ke contoh ya, coba bandingin suaranya Chrisye ama Once mantan vokalisnya Dewa 19, bisa ngebedainnya kan? Biasanya langsung bisa ditebak siapa yang nyanyi lagu A, ato lagu B, hanya dengan sekali denger. Karena apa? Karena mereka punya timbre yang berbeda. Gara-gara mereka punya ciri khas di tiap alunan suaranya. Dan karena mereka juga ga sama alias beda orang (yaiyalah -.-)

Penyanyi aja kaya gitu. Penulis pun juga sama. Punya timbre yang berbeda di setiap tulisannya. Ada karakter ato ciri khas yang ditonjolkan dalam kalimat per kalimat. Dan syukurlah, banyak orang yang berkomentar mengenai gaya penulisan saya. Banyak pula yang mengenali bahwa, “Tulisan ini pasti Sofy yang nulis”, walau pun disitu tertulis No Name. Sebuah surprise tersendiri rasanya, ketika orang lain mengenali sang penulis dari bagaimana dia bercerita dalam setiap goresannya. Walau pun diakui masih sangat amatir dalam dunia tulis menulis, tapi setidaknya timbrenya sudah kelihatan.

Sebenernya, kalo boleh jujur nih ya, aku sendiri masih bingung sama jati diri apa sih yang aku tonjolin waktu nulis? Apa yang bikin orang lain kenal sama tulisan yang aku buat? Kayanya tulisannya biasa-biasa aja deh. Ngga kaya yang orang-orang bilang. Aku ga ngerasain ada perbedaan tersendiri yang mencerminkan bahwa INI LOH, AKU YANG NULIS! Belum dapet tuh feel yang kaya gitu. Ato mungkin ini gegara faktor saking semangat nulis, pengalaman, atau malah faktor umur? Tapi kayanya yang terakhir ga pengaruh kali ya :D Yang jelas, orang lain pasti lebih ngenalin kita daripada kita kenal sama diri sendiri. “Kamu keren deh pake blous yang kaya gini” ato “Sekarang kamu tinggian ya kayanya?”, nah mungkin analoginya sama kaya gitu. Orang lain lah yang jadi pengamat terbesar dari tulisan kita. Aku yang buat, orang lain yang jadi pengamat dan penikmat. Bener kaya gitu kan J?

Kebingungan tadi mungkin bisa hilang kalo denger celetukan dari teman-teman yang udah biasa baca tulisanku: “Simple but meaningfull. Sederhana tapi bermakna sob”, “Tulisanmu penuh analogi yang kadang aku ga pernah mikir sampe ke situ”, “Sederhana tapi indah. Penuh keoptimisan”, “Di awal normal mengalir, endingnya dalem.”
Seharusnya komen-komen di atas bisa dijadikan start-up yang baik buat ke depannya. Ini semua baru awal kok. Masih butuh klimaks yang benar-benar WAH! yang bisa dikembangin nantinya. Gaya tulisan yang masih sederhana ini, aku sangat yakin, suatu hari nanti pasti akan bisa menjelma menjadi sesuatu yang luar biasa!



Harapan yang luar biasa dalam sebuah torehan,
Semarang, 28 Juli 2013 – Sofy Nito Amalia

Teknik Lobbying



Teknik Lobbying
This article is written by Sofy Nito Amalia

Kesetaraan atau Kemapanan?

/Kalau kamu tahu, kita ini sama lho.
 *Maksudnya sama?
/Iya, kita ini setara
*Setara dalam hal apa?
/Segalanya. Termasuk kesempatan yang sama.
*Hanya itu?
/Lebih dari itu, cantik.. Pernahkah kamu membayangkan sekarang kita ada dimana?
*Umm. Dimana ada aku, kamu juga ada. Begitu kah maksudnya?
/Kita ada disini. Di bawah. Hanya saat ini.
*Tetapi aku menginginkan sesuatu hal yang lebih tinggi. Lebih baik hanya dari sekedar "di bawah". Di atas, mungkin?
/Aku pun sama denganmu.
*Jadi, kita?
/Lihat, kita sama kan? Bahkan tanpa didahului adanya suatu perjanjian.
*Kesetaraan kita ternyata hanya sesederhana itu ya.
(Hening beberapa saat)
*Pernahkah kamu bayangkan, kesederhanaan itu berubah menjadi suatu hal yang patut dibanggakan?
/Untuk itulah aku disini. Di bawah. Dan kamu juga. Kita masih di tempat yang sama. Tapi ingat, hanya saat ini. Bukan besok, atau nanti. Sepertinya garis ini memberi kita kesempatan untuk menjalaninya bersama demi mencapai hal yang lebih tinggi.
*Aku dan kamu. Kesetaraan demi sebuah kemapanan. Begitu kan?
/It's always be you. Jalan pikirmu yang berbeda dan selalu bisa mengubahnya menjadi suatu hal yang positif. Tidak pernah aku mengenalmu sebaik saat kamu membicarakan hal-hal seperti ini. Sekarang pertanyaannya, bisakah kita?
*Mau tau jawabannya? HARUS. Sesederhana itu bukan?
/Kamu mau tahu apa luar biasanya dari brainlogi antara aku dan kamu sekarang?
*Bolehkah aku menggeleng? Tidak. Memangnya apa?
/Suatu hal yang tidak kita rencanakan, ternyata itu sama seperti yang kita pikirkan. Dan tanpa adanya perjanjian pun, ternyata hasilnya jauh lebih baik dari apa yang kita upayakan. Aku dan kamu selalu menunjukkan komitmen walaupun tidak ada perjanjian. Mungkin inilah hebatnya arti kepercayaan.


Yogyakarta, di suatu sore yang cerah antara 4 atau 5 tahun yang lalu
SNA  OBK

Opie Jarang Balik



Judul di atas emang paling pas. Jadi mahasiswa yang udah balik lagi ke ranah kelahiran. Dari yang sebelumnya ngebolang ke Jogja dan mengembara ke Jakarta, sekarang mampir lagi buat ngicipin bangku kuliah di Undip. Udah sekota sih sama keluarga, tapi kayanya ga ngaruh. Sebulan balik rumah 2x, ga tiap minggu balik. Faktor hari libur ada kegiatan kampus dan lama juga perjalanan baliknya. Walau ga jauh-jauh amat jarak kosan-rumah, tapi tetep aja naek bis PP sejam-an. Mana BBM naek, ongkos bus pun meroket juga. Jadi emang kudu pikir-pikir kalo mo balik. Kalo ga butuh-butuh banget buat pulang, mending uangnya buat makan hahaha. "Diirit-irit duitnya.", begitulah kata Mama. Walaupun kadang-kadang juga kalo weekend Mama sms, "Nduk, kamu ga balik rumah?"

Yang berontak sih adek-adek yang pada ribet biasanya nyuruh pulang rumah. Yang cowo alesannya mo liat update-an film sama minta video baru. Yang cewe katanya bilang kangen. Gimana ga kangen, lagi buka pager rumah aja udah disambut pake lari-lari, pelukan, dan ciuman dari Rizqi. Segini ngegemesinnya kah aku sebagai seorang kakak :3 ?? #plaaak

Agenda  'jarang balik rumah' ini juga dipertanyakan temen-temen kosan. Lagi di dapur niih, tiba-tiba ditereakin, "Mbak Soof ga pulang?? Bareng aku yok kebawahnya?" | "Enggak dulu nih kayanya, ntar ada rapat hehe.". Orang lain aja pada tanya, apalagi keluarga sendiri. Contohnya kaya gini nih:
"Opie ni udah balik lagi ke Semarang tapi brasa masih di Jakarta/Jogja." - Papa
"Mba Opie itu Bang Toyib. Jarang pulang rumah. Sekalinya pulang tapinya ga nginep." - Rizqi
"Opo deng, jek ntes teko wae wes ndang balek neh mbaaak mbaaaakk.." - Helmi
"Mbak koe balek kapan? Ojo muni nek ngko awan, tak jiwit lho koe" - Fachri
"Piee, pulang Baterman kapan? Tak masakin enak lhooo." - Mama


Yah, begitulah. Momen-momen bikin geli dan bisa bikin kangen rumah :D
*Berharap juga bisa punya kendaraan sendiri suatu saat nanti, walau tanpa meminta langsung. Yah, semoga saja. Allah tahu waktu yang paling tepat untuk memberikannya :) Aamiin


Mulawarman, Semarang, 1 Ramadhan 1434 H, 10 Juli 2013
5:58 am. Sofy Nito Amalia