The Power of Painful

12:01. Waktu sudah menunjukkan zuhur. Azan persis berkumandang saat mataku tepat tertuju melihat jam dinding. Sembari mendengarkan azan, pikiranku menerawang jauh kembali ke satu tahun silam..........






Aku bukan di sini, bukan tempat dimana aku menginjakkan kaki.

Kepalaku mendongak, menatap tingginya skyscrapers yang berjejer, seakan menantangku untuk dapat mencapai puncaknya. Asap tebal membumbung, sesak, memenuhi hidung kemudian tembus ke paru-paru. Jalanan bising dan penuh dengan suara klakson. Ya, inilah ibukota. Metropolitan penuh sejuta mimpi. Sekian juta orang menggantungkan cita-cita dan harapannya di kota ini. Termasuk aku.

Mungkin ini gila saat tersadar bahwa aku sudah berada di tengah kerumunan padat orang. Aku tak tahu apa-apa mengenai kota yang setiap hari muncul di televisi ini. Aku buta. Yang aku paham, mungkin, adalah kata-kata yang sering aku dengar dari kebanyakan orang: “JAKARTA ITU KERAS”. Dari sepersekian kemungkinan orang-orang berkompetisi, konon katanya HANYA ADA 2% orang yang bisa sukses. Entah itu sukses dalam pengertian yang seperti apa, aku pun tak tahu. Yang aku tahu hanya, “Sukses itu merupakan salah satu yang termasuk dalam relativitas”.
Aku, begitupun Anda, pasti ingin termasuk dalam salah satu dari yang dua persen itu bukan??


Waktu terus berputar dan semakin membuktikan “JAKARTA ITU KERAS” dengan benar-benar nyata. Saat dimana aku mulai merasakan “I’ve got it all on my comfort zone”, ada beberapa peristiwa yang mengganggu pikiran dan batinku. Aku merasa diperlakukan tidak adil oleh seseorang yang memiliki kuasa terhadapku. Hampir setiap hari, kata-kata yang jika-didengar-membuat-telinga-bergidik selalu aku dapatkan. Menahan diri dan selalu berpikir, “Ini resiko, ini ujian, sudah terima saja.” Tapi lama kelamaan aku semakin tidak kuat merasakan ini semua. Mungkin, karena “aku yang terlalu polos” dan tidak bisa membedakan bahwa ini ternyata sudah melampaui batas. Buktinya orang tuaku sampai marah besar terhadap semua perlakuan yang aku dapatkan. Aku masih mencoba tetap bertahan, saat mengingat semua peristiwa yang telah terjadi sebelum adanya peristiwa ini. Ayahku, Ibuku, dan ketiga adikku, hanya mereka lah yang mampu membuatku tetap bertahan. Keterbatasan, memang mengalahkan segalanya, dan aku sadar ini lah “sense of urgency” yang sebenarnya aku rasakan. Tetapi akhirnya “perasaan” lah yang menang. Perasaan yang di dalamnya berkecamuk rasa sakit yang teramat sangat, yang diluarnya terdapat benteng untuk bertahan yang akhirnya runtuh juga. Hingga suatu hari, aku mendengar melalui telingaku sendiri, bahwa aku disumpah untuk tidak akan bisa meraih cita-cita dan impianku untuk menempuh studi lebih lanjut, tentunya oleh orang yang memiliki kuasa itu. Aku marah, benar-benar marah hebat. Kepalaku panas, tubuhku bergetar, semua rasanya hampir meledak. Aku merasa dihina, diinjak-injak, dan tidak memiliki pengakuan atas hak yang aku peroleh. INI SUNGGUH GILA!

Tanpa pikir panjang, saat itu juga bibir ini berucap dan bersumpah, “Aku pasti BISA meraih apa yang aku inginkan. Nahkoda hidupku adalah aku, bukan kau, atau siapa pun. Tak ada seorang pun yang berhak mengaturku, kecuali aku. Aku akan buktikan bahwa aku TIDAK SEPERTI YANG KAU PIKIRKAN. Mungkin kali ini kau bisa berkata seperti itu, tapi tidak untuk besok!”


##
Pikiranku buyar saat ada orang yang mengetuk pintu rumahku, dan itu ternyata adikku yang datang sepulang dari sekolah. Ini nyata. Aku sudah kembali ke tanah kelahiranku. Menjalani aktivitas sehari hari: kuliah, ke kampus, bermain dengan teman-teman, dan berkumpul kembali dengan keluarga. Aku tersenyum, “Aku menang.” Ya, aku menang. Tapi ini semua baru pembuktian kecil. Mau tahu pembuktian besarnya? Dan melihat aku mematahkan semua sumpah serapah yang dikatakan orang itu beberapa waktu silam? Kita lihat saja nanti J

*Kejadian ini membuatku belajar akan pentingnya menjaga hubungan baik dengan semua orang, tak terkecuali. Berusaha menjalin relasi dan sama-sama menjaga hati satu sama lainnya. Karena orang yang sakit hatinya itu berbahaya, sangat berbahaya. Ketika dia memiliki doa dan niat untuk membuktikan tentang perlakuan yang mengakibatkan rasa sakit hati itu. Percayalah, doa orang yang terzalimi itu mujarab. Jadi hati-hatilah dalam berkata-kata dan menjalin hubungan dengan orang lain. Mungkin inilah yang dinamakan “the power of painful”