Siang ini, saat mata kuliah pengantar manajemen berlangsung, ada satu hal yang menarik dan saya soroti lebih dalam. Waktu itu, dosen menerangkan mengenai perbedaan karakteristik mental antara person yang berlatarbelakang lulusan S1 dengan person yang ‘hanya’ lulusan STM. Can you guess what is it? MENTAL. Ya, hanya itu yang jelas-jelas menjadi pembeda, dan secara tidak langsung saya mengangguk, tanda bahwa alam bawah sadar ini sinkron dengan ucapan tadi.
Jujur saja, saya adalah lulusan STM yang benar-benar
merasakan apa yang dibicarakan oleh dosen tersebut, dan saya bangga menjadi
lulusan STM, BENAR-BENAR BANGGA. Alasannya? Sederhana!
KERJA KERAS! Hanya itu yang diajarkan kepada kami. Terus
menerus. Setiap hari. Dan selalu berulang-ulang. Di sekolah kami, selalu
ditekankan prinsip bahwa, DUNIA (KERJA) ITU KERAS. Hampir tidak ada waktu untuk
mengeluh atau malah merenungi nasib. Mental kami benar-benar ditempa disini.
Bayangkan saja, kondisi saya saat itu yang tinggal di sebuah desa yang damai di
Sleman. Jarak dari rumah ke sekolah kurang lebih 15 kilometer dan berada di
pusat kota Yogyakarta. Kendaraan pribadi pun tak ada, hanya sebuah bus kota
butut dan kumal yang selalu setia mengantarkan ke sekolah. Kondisi ini
mengharuskan saya bangun maksimal jam 04.30 pagi dan sudah harus berangkat pukul
05.45. Praktek, tinjauan, evaluasi, mengerjakan project, menyelesaikan job, serta
beberapa organisasi yang saya ikuti merupakan seabrek kegiatan yang harus dilakoni
saben harinya. Tentu ada konsekuensi yang harus saya terima akibat kegiatan
ini: pulang sore. Sering saya (bahkan) tidak dapat bus untuk angkutan pulang,
yang tentu saja (harus) merepotkan beberapa teman untuk mengantarkan pulang.
Tapi ini semua belum seberapa dengan pengorbanan dan niat
menuntut ilmu beberapa orang teman saya, yang benar-benar membuat bangga
memiliki teman seperti mereka. Mereka bertempat tinggal di Bantul (yang saya
maksudkan di sini Bantul paling pojok, pucuk pantai) yang berjarak 20 hingga 30
kilometer dari sekolah. Dan apakah kalian tahu, naik apa mereka berangkat ke
sekolah? Sepeda Onthel. Itu pun sudah butut dan kondisinya sudah uzur. Seperti
yang kita tahu, kondisi alam dan geografis wilayah Yogyakarta tidak ada yang “mulus”.
Lihatlah, betapa tegarnya mereka. Niat untuk menuntut ilmu mereka benar-benar
tinggi. Dalam hati pun saya berdoa, “Ya Tuhan, berikanlah kemudahan dan
kesuksesan bagi saya dan orang-orang seperti mereka yang selalu berusaha walau
dalam keterbatasan”.
Itulah sekelumit, atau malah sebagian kecil kisah kehidupan
anak STM, sejauh yang saya tahu (dan rasakan). Begitu beratnya pengorbanan
untuk “hanya sekedar” menuntut ilmu, menggapai cita-cita, dan memutus rantai
kebodohan.
Lihatlah sekilas saja, tempat parkir STM kami, tidak ada
satu mobil pun yang dimiliki oleh siswa. Berbeda sekali dengan apa yang saya
rasakan sekarang, berkuliah di tempat elite dan mayoritas memiliki kendaraan
roda empat. Di sana, kendaraan mewah maksimal hanya motor Suzuki Satria FU atau
ada beberapa yang memiliki Ninja, selebihnya motor bebek biasa, matic, dan
pastinya “sepeda onthel”. Walau begitu, jangan pernah sekali pun meremehkan
kami, kaum-kaum kecil, golongan yang memiliki keterbatasan, untuk tidak pernah
memiliki mimpi. Jangan salah, prestasi sekolah kami sangat membanggakan. Di
jurusan saya, Teknik Komputer Jaringan, berhasil mendapatkan juara pertama
dalam kompetisi web sekolah se-Indonesia. Jurusan lain pun tak kalah ketinggalan
dengan berbagai macam prestasi yang telah ditorehkan.
Karakteristik, pengembangan diri, mental, dan moral kami
digembleng selama 3 tahun. Dan saya rasakan saat ini, benar-benar subhanallah.
Banyak hal yang saya sadari, berubah dalam diri saya, tentunya ke arah yang
lebih baik.
Satu hal yang dapat saya cermati di sini adalah: kita semua
dapat mengambil pelajaran moral bahwa, “Keprihatinan seseorang terhadap suatu
kondisi menjadikan kita lebih mawas dan membatasi terhadap hal-hal yang
sebenarnya tidak perlu kita lakukan”. Saya dan teman-teman saya benar-benar
prihatin dalam masa menuntut ilmu, karena kami sadar, kami disini kecil, tapi KAMI
PUNYA MIMPI YANG SANGAT BESAR. Kami juga
tahu, bahwa jalan ini masih sangat panjang dan terjal untuk ditempuh. Hedon,
hura-hura, dan hal semacamnya merupakan barang haram bagi kami, karena itu
adalah faktor penghambat dalam meraih cita-cita.
Salah kaprah masyarakat menganggap, lulusan STM hanya bisa
menjadi kuli, menjadi pekerja, pesuruh, bukan atasan. Saya menentang keras
statement itu! Di STM diajarkan semangat kewirausahaan dan leadership, dalam
hal ini diaplikasikan terhadap berbagai macam kompetensi dan skill yang kami
miliki. Theory without practice is bullshit! Banyak teori sama saja dengan NATO
(No Action Talk Only). Realitanya, apa yang terjadi di lapangan biasanya sangat
bertolak belakang dengan teori yang ada, walau tak selamanya keadaan
menggambarkan seperti ini. Namun sadar atau tidak, beginilah kondisi yang
terjadi pada umumnya, right? STM merupakan Sekolah Tempa Mental, yang saat ini
benar-benar saya rasakan manfaatnya.
The last but not least, jangan pernah sekalipun meremehkan seorang
lulusan STM. Dan percayalah, lulusan STM dengan gender perempuan, biasanya
lebih tangguh dari apa yang kalian duga J